Info Terbaru

Akses Pembiayaan Sulit, Rentenir Kian Melejit

Oleh: Seppi Mustion SiBac-Sip Turki 2024

Di tengah ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya kebutuhan finansial, akses pembiayaan resmi seringkali menjadi hambatan besar bagi banyak individu dan usaha kecil. Menurut data dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada 2023, hanya sekitar 20% UMKM di Indonesia yang memiliki akses ke pembiayaan formal dari lembaga keuangan (OJK, 2023). Proses yang rumit, persyaratan yang ketat, dan suku bunga yang tinggi membuat banyak orang kesulitan untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan dari lembaga keuangan formal.
Sebuah studi oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial (LPES) menunjukkan bahwa 35% masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal terpaksa beralih ke rentenir untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka (LPES, 2022). Tanpa regulasi yang ketat, rentenir seringkali menawarkan pinjaman dengan syarat yang lebih fleksibel namun dengan bunga yang sangat tinggi dan biaya tersembunyi. Hal ini menyebabkan banyak orang terjebak dalam lingkaran utang yang sulit untuk keluar. Menurut penelitian oleh Smith dan Jones (2021), rentenir seringkali memperburuk masalah keuangan peminjam dengan beban bunga yang sangat tinggi, mengakibatkan kesulitan ekonomi jangka panjang (Smith & Jones, 2021).
Dalam perspektif Islam, praktik rentenir bertentangan dengan prinsip keadilan dan etika finansial. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan (perkara) itu kepada pengadilan, agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (cara) yang tidak sah, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188). Ayat ini menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam transaksi finansial.
Perbankan syariah menawarkan alternatif yang lebih adil dan transparan. Berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang berbasis bunga, perbankan syariah menggunakan prinsip bagi hasil dan keadilan. seperti produk mudharabah (bagi hasil) dan murabahah (jual beli) adalah contoh bagaimana perbankan syariah menghindari riba (bunga) dan mengutamakan kemitraan dalam pembiayaan. Dalam prinsip mudharabah, bank syariah dan nasabah berbagi keuntungan dan risiko dari investasi sesuai kesepakatan, sedangkan dalam murabahah, bank membeli barang dan menjualnya kepada nasabah dengan margin keuntungan yang disepakati (Abdullah, 2021).
Namun, perbankan syariah juga menghadapi beberapa masalah. Salah satu masalah utama adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang produk dan prinsip perbankan syariah. Sebuah studi oleh Hasan dan Mirza (2022) menunjukkan bahwa kurangnya literasi keuangan syariah seringkali menyebabkan ketidakpastian dan keraguan di kalangan nasabah potensial (Hasan & Mirza, 2022). Selain itu, perbankan syariah juga menghadapi tantangan dalam hal standardisasi produk dan regulasi yang masih berkembang. Masih ada perbedaan dalam interpretasi dan pelaksanaan prinsip syariah antara lembaga keuangan, yang dapat membingungkan nasabah dan menghambat pertumbuhan industri (Yusuf, 2023).
Dalam jangka panjang, ketergantungan pada rentenir bisa memperburuk kondisi ekonomi individu dan usaha kecil, serta menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Perbankan syariah dapat menjadi solusi untuk menyediakan akses pembiayaan yang lebih inklusif dan adil. Penting bagi pihak berwenang dan lembaga keuangan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang alternatif ini dan mendorong inklusi keuangan yang lebih baik, sambil menyelesaikan tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah.
Dalam perspektif Islam, praktik riba (bunga) dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan dilarang. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak akan berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dibelenggu syaitan karena tekanan (penyakit) gila. Yang demikian itu adalah karena mereka berkata, ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.’ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Sebagai solusi, harus mempertimbangkan beberapa langkah penting. Pertama, reformasi proses pengajuan pembiayaan agar lebih sederhana dan mudah diakses oleh UMKM dan individu. Kedua, meningkatkan edukasi keuangan untuk membantu masyarakat memahami pilihan mereka dan menghindari pinjaman ilegal. Ketiga, mengembangkan produk keuangan yang lebih fleksibel dan inovatif. Terakhir, menerapkan pengawasan yang ketat terhadap praktik rentenir. Dengan memperbaiki akses dan transparansi dalam pembiayaan bank serta melaksanakan reformasi sistem keuangan, langkah tersebut, mengurangi ketergantungan masyarakat pada pinjaman ilegal dan menciptakan sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Populer