Oleh Dr Dessy Kurnia Sari, SE,MBus(Adv)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas,Padang, Indonesia
PadangTIME.com – Batik merupakan salah satu hasil seni budaya yang paling dikenal dari Indonesia. Memasuki bulan Oktober , maka makin terasa kedekatan hati masyarakat Indonesia dengan batiknya.
Tanggal 2 Oktober yang dikenal dengan hari batik nasional membuat masyarakat berlomba – lomba ingin mengenakan batik terbaiknya dan memperlihatkan pada dunia melalui sosial media.
Makin maraknya pertukaran informasi secara online membawa dampak positif pada makin mendunianya batik di bulan Oktober ini.
Di ujung Oktober nanti pun momen Sumpah Pemuda diprediksi akan makin membuat kecintaan terhadap produk dalam negeri makin meningkat sebagaimana meningkatnya semangat cinta negara.
Di lain sisi, penjualan batik dikatakan menurun terutama dari Minang dikarenakan situasi Covid saat ini. Para pengrajin batik, termasuk batik tanah liek asli minang sangat terdampak oleh situasi Covid. Karenanya, hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama.
Terkait batik sebagai lambang budaya, akademisi dari dua negara Indonesia dan Malaysia melakukan studi yang lebih mendalam. Studi ini mencoba mempelajari tentang pandangan masyarakat terhadap batik sebagai sebuah brand .
Studi ini diketuai oleh Dr. Dessy Kurnia Sari dari Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. beranggotakan  Dr Norazlyn Kamal Basha dari Universiti Putra Malaysia dan Danny Hidayat,SE, MM dari Fakultas Ekonomi, Unand.
Salah satu studi terdahulu yang relevan berasal dari Fritz dan Schoenmueller (2017) yang menemukan bahwa elemen budaya dapat menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi individu dalam membeli sebuah produk terutama jika brand tersebut sangat khas dan unik yang merujuk pada konsep yang disebut brand cultural symbolism.
Hasil studi memperlihatkan hasil yang menarik. Ternyata dengan membeli batik, ada kebahagiaan yang terasa bagi konsumen.
Ada dua kebahagiaan yang secara psikologis disebut eudaimonic dan hedonic well being yang dirasakan konsumen. Jian et al (2019) mendefinisikan eudaimonic well being sebagai kebahagiaan konsumen yang merasakan kepemilikan benda berkaitan dengan kualitas hidup, yang memiliki potensi terbaik bagi seseorang guna memenuhi tujuan diri sendiri.
Sementara hedonic well being adalah kebahagiaan konsumen yang merasakan kepemilikan benda sebagai tujuan hidup untuk mendapatkan suatu kesenangan secara  maksimal dan happiness yang tercipta melalui fisik dan kognitif.
Menariknya, kedua jenis bahagia ini dirasakan konsumen yang membeli batik minang. Jian et al (2019) menemukan bahwa brand cultural symbolism adalah brand yang dinilai asli oleh konsumen (mengacu pada konsep brand authenticity).
Ada rasa bangga dalam mengenakan batik tersebut terutama ketika mereka paham bahwa ini adalah batik yang asli dengan cerita yang ada di balik setiap motifnya.
Temuan tentang adanya kebahagiaan konsumen pengguna batik minang ini tentunya menularkan rasa bahagia juga pada peneliti dari Universitas Andalas dan Universiti Putra Malaysia.
Dr Dessy Kurnia Sari yang mengetuai studi ini optimis bahwa dengan sentuhan promosi yang tepat maka batik minang seharusnya dapat mendunia dan tak kalah dengan batik dari Jawa.
Keragaman pilihan motif seperti kaluak paku, kuciang lalok dan itiak pulang patang yang menjadi perbincangan menarik dalam interview dengan beberapa konsumen membuat batik dapat diterima oleh berbagai generasi, termasuk kaum milenial yang memiliki gaya hidup yang dinamis.
Ternyata bahagia itu sederhana. Perasaan senang dan bahagia konsumen batik minang juga menghadirkan emosi positif yang dibutuhkan setiap individu terutama dalam keadaan pandemi saat ini, dimana kita butuh untuk tetap menjaga imunitas dengan cara menjaga diri agar tetap bahagia, termasuk sebagai konsumen.
Konsumen yang merasakan bahagia saat membeli produk batik Minang memberikan peluang bisnis yang besar bagi pengrajin batik untuk kembali optimis dalam situasi pandemi.
Lagi-lagi yang diperlukan adalah sentuhan yang tepat terutama dalam hal memperhatikan kualitas produk batik dan mempromosikannya dengan cara yang efektif termasuk mengoptimalkan promosi online agar batik tanah liek asal Minangkabau dapat lebih mendunia.
Dr. Norazlyn Kamal Basha dari Universiti Putra Malaysia yang berkolaborasi dengan Dr Dessy Kurnia Sari dari Universitas Andalas ini juga sangat terkesan dengan hasil temuan ini dan ingin membahas lebih lanjut untuk studi lainnya terkait batik tanah liek minang ini.
Penulis: Dr Dessy Kurnia Sari, SE, MBus(Adv) adalah dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang. Dessy menamatkan pendidikan S3 di bidang pemasaran (Branding Muslim Comsumer Behavior) dan mendapatkan gelar PhD dari The University of Western Australia.
Dessy telah menulis pada beberapa jurnal bereputasi terindeks scopus dan dianugrahi Emerald Literati Award pada tahun 2018. Dessy sangat peduli dengan kemandirian penyandang disabilitas dan merupakan founder dari website karajoelok.com untuk membantu pemasaran produk Disabilitas dengan kualitas terjaga.
Dessy tertarik pada riset yang berkaitan dengan islamic marketing branding comsumer behavior halal tourism dan cross cultural study. Dessy dapat dihubungi melalui email : dessyks@eb.unand.ac.id

 

 

bebi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini