Prospek Perdagangan Bilateral Negara Organiasi Kerjasama Islam (OKI)

0
2963

Oleh : Arie Sukma (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAND)

Padang TIME | Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan organisasi terbesar kedua di dunia yang terdiri dari 57 anggota negara-negara muslim atau yang sebagian besar penduduknya beragama islam.

OKI berpotensi menjadi kekuatan baru di dunia terutama dibidang ekonomi jika kebijakan dan program peningkatan kerjasama ekonomi yang telah disepakati oleh masing-masing anggota diratifikasi oleh seluruh anggota dan dilaksanakan secara baik dan konsisten.

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, anggota OKI sepakat untuk merintis pasar bersama (common market) atau yang lebih dikenal dengan pasar bersama islam (Islamic Common Market/ICM).

ICM lebih dari sekedar kelonggaran tarif dan relaksasi hambatan perdagangan internasional, lebih jauh ICM kedepannya akan membiarkan aliran faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja untuk bebas keluar masuk di negara-negara islam.

Walaupun secara prospek sangat bagus, namun menurut sebagian pendapat, implementasi ICM akan mengahadapi beberapa hambatan.

Dabour (2004) menyebutkan bahwa relatif beragamnya karakteristik geografi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik di negara anggota OKI merupakan salah satu tantangan pembentukan ICM. Sebagai contoh, negara anggota OKI yang tersebar merata di beberapa benua yang berbeda secara otomatis memiliki perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.

Ditengah besarnya tantangan untuk membentuk ICM, negara-negara OKI terus berupaya supaya ICM bisa direalisasikan secepat mungkin. Salah satu upaya tersebut terlihat dari impelentasi Preferensial Trade Area (PTA) atau perjanjian perdagangan internasional. PTA direalisasikan dalam bentuk Trade Preferential System, TPS).

TPS berdasarkan pada prinsip keuntungan bersama bagi semua anggota OKI dengan tetap mengakomodasi perbedaan karakteristik ekonomi masing-masing anggota yang bermuara pada pembangunan kawasan perdagangan bebas (COMCEC, 2018).

Pada 2018, dari 42 negara yang menandatangani TPS, sebanyak 32 negara yang telah meratifikasi TPS termasuk didalamnya Indonesia.

Sebagai langkah awal, TPS diharapkan mampu meningkatkan intensitas perdagangan bilateral negara-negara OKI.

Ghani (2007) menyebutkan bahwa perdagangan bilateral negara-negara OKI lebih rendah dibanding intensitas perdagangan negara-negara bukan anggota OKI.

Sebagai contoh, Indonesia merupakan salah satu negara dengan intensitas perdagangan yang cukup rendah dengan sesama negara OKI yang yang telah meratifikasi TPS.

Data juga memperlihatkan bahwa perdagangan bilateral negara-negara yang telah meratifikasi TPS masih didominasi oleh negara-negara Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) dan China.

Dalam literatur perdagangan internasional disebutkan bahwa kualitas kelembagaan, pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan stabilitas politik berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perdagangan bilateral. Oleh sebab itu, untuk menunjang implementasi TPS supaya berjalan dengan efektif dan efisien, negara-negara OKI harus meningkatkan kualitas kelembagaan (governance), meningkatkan inovasi, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan menjaga stabilitas politik.

Namun demikian, diatas semua itu, satu hal yang menjadi syarat perlu (necessary condition) untuk meningkatkan intensitas perdagangan bilateral negara OKI dalam rangka mempercepat impelementasi ICM adalah kemauan politik (political will) dari pemimpin negara-negara OKI.

Tanpa kemamuan politik yang kuat, ICM hanya akan menjadi jalan panjang dengan tujuan akhir yang masih jauh. (pt)

bebi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini