OLEH: DUSKI SAMAD
Ketua Pimpinan Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Sumatera Barat
PadangTIME.com – Tulisan Suharizal, Advokat/Konsultan Hukum, dalam Teras Utama Harian Padang Ekspres, Rabu, 21 Juli 2021, di bawah judul SPIN-OFF BANK NAGARI (SYARIAH) telah menambah keyakinan dan pandangan akademis penulis akan keharusan dan keniscayaan konversi Bank Nagari konvensional ke Bank Nagari Syariah.
Argumen hukum yang dikemukakan penulis bahwa keputusan RUPS-LB Pemegang saham Bank Nagari tanggal 30 November 2019 adalah cacat hukum dengan menyebutkan bahwa Kepala Daerah yang “bertindak” selaku pemegang saham pada Bank Nagari mengambil keputusan tanpa melibatkan institusi DPRD masing-masing. Kemudian diperkuat dengan argumen keberadaan DPRD Provinsi, Kabupaten Kota.
Sebagai ahli hukum Suharizal tentu boleh saja mengemukakan argumen penolakan Konversi Bank Nagari menjadi Bank Nagari Syariah, dengan alasan hukum seperti yang sudah ditulis pada artikel di atas. Namun, sebagai masyarakat awam dan jelas tidak ahli dalam hukum patut bertanya. Apakah pendapat di atas murni atas dasar ilmu hukum yang memiliki filosofi HUKUM HARUS TEGAK, WALAUPUN LANGIT AKAN RUNTUH?. Jika benar, tentu patut dihargai sebagai pejuang hukum menyampaikan pertimbangan hukum, dan jika ada motif untuk kepentingan sempit, dan pragmatis, sejarah akan menghakiminya kelak.
MAKNA SEJATI BANK SYARIAH
Makna sejati bank syariah diungkap dengan lugas bahwa sistim pengelolaannya menjadikan untung-rugi tanggung bersama antara nasabah dan pihak Bank. Prinsip kerjasama (syarikah) yang tulus dan saling percaya antara pihak pemodal, (Bank), dengan pengusaha dalam menjalankan bisnis, memperoleh keuntungan dibagi bersama dan juga menanggung resiko bila usaha gagal, adalah usaha yang rasional, menentramkan batin dan sekaligus menuntut tanggung jawab bersama antara pihak pebisnis dan pihak Bank.
Membaca dengan hati dari tulisan Spin-Off Bank Nagari ( Syariah) di atas, ada dua kata kunci yang harusnya menyadarkan umat yang setia, loyal dan taat pada ajaran Islam bahwa Bank pola syariah lebih adil, lebih memanusiakan nasabah, serta menjadikan pengelola Bank lebih bertanggung jawab. Lebih lagi, dari pihak Bank Syariah mesti bekerja lebih hati-hati, berkeringat, tidak mau menang sendiri.
Pertama: Bank Syariah, Untung-rugi, itu Core Bussinessnya. Pernyataan bahwa inti dan kunci utama dari pengelolaan Bank Syariah yang menempatkan untung rugi sebagai tanggung jawab pemilik modal dan pengusaha adalah implementasi dari perintah Allah swt, taawun, tolong menolong dalam kebaikan. Ta’wun (coorperatif) di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang mengindikasikan ta’awun (coorperative), misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 2, surah An-Nahl ayat 125, At-Taubah ayat 71.
Konsep taawun itu dalam praktek Bank Syariah salah satunya dalam bentuk musyarakah. Musyarakah adalah bentuk pembiayaan dengan skema bagi hasil (syirkah), dimana Bank menempatkan dana sebagai modal untuk usaha nasabah, dan selanjutnya Bank dan Nasabah akan melakukan bagi hasil atas usaha sesuai nisbah yang disepakati pada jangka waktu tertentu.
Cara lain yang dipakai Bank Syariah dalam menerapkan prinsip taawun adalah dengan pola mudharabah. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak kedua sebagai pengelola modal. Keuntungan dan kerjasama tersebut dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian.
Ada beberapa ahli berpendapat Mudharabah adalah saat tenaga kerja dan pemilik dana bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk kerja. Kesimpulannya adalah bahwa hal-hal pokok yang terdapat dalam mudharabah, yaitu ada pemilik dana (Bank), ada orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan usaha/bisnis yang membutuh kan dana. Dengan kerja sama atau kesepakatan untuk mencari keuntungan, keuntungan yang diperoleh kemudian dibagi para pihak sesuai perjanjian, pemilik dana (bank) menanggung kerugian yang tidak disebabkan oleh pengelola, asalkan dana pokok tidak berkurang.
Dasar hukum Bank Syariah seperti terdapat pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 19 poin (b) dan (c) dijelaskan bahwa kegiatan usaha bank syariah meliputi menghimpun dana dalam bentuk investasi dengan akad mudharabah dan menyalurkan pembiayaan bagi hasil dengan akad mudharabah.
Dalam penjelasan UU Nomor 21, Mudharabah didefinisikan : Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam menghimpun dana adalah Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.
Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Mudharabah dalam nash satu di antaranya
Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Thabrani yang artinya: “Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).
Kedua: Bank Konvensional Untung, Core businessnya. Jelas bahwa konvensional adalah pihak yang selalu diuntungkan. Tidak ada resiko pihak Bank bila usaha gagal, tak terkecuali gagal karena bencana sekalipun. Prinsip pihak Bank konvensional yang “tak mau berkeringat” adalah tidak adil dan tentu hanya menjadikan nasabah obyek, tidak pernah bisa menjadi subyek.
Dalam perkembangan terkini, ulama kontemporer ada perbedaan tentang Bank Konvensional. Ada yang mengharamkan bunga Bank Konvensional dengan alasan sistim yang ada hanya keuntungan sepihak saja dan pihak Bank tidak bersedia menanggung kerugian bersama nasabah.
Republika menurunkan opini, Rabu , 21 Jul 2021, 05:05 WIB tentang ulama yang mengharamkan bank konvesinal, penulis ringkas, sesuai tema.
1. Syekh Yusuf Qaradawi.
Khusus untuk tema ini Beliau menulis sebuah buku berjudul : Fawaid Al-Bunuk Hiya Ar-Riba Al-Muharram. Yang menarik, Al-Qaradawi mengklaim bahwa seluruh ulama sudah ijma’ atas keharaman bunga. Syekh Yusuf adalah salah satu icon di deretan ulama yang anti dengan dengan bunga bank bersama dengan beberapa ulama kontemporer lainnya.
2. Syekh Wahbah Az-Zuhaili.
Dalam kitabnya yang terkenal, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beliau sampai menulis kata haram tiga kali berturut-turut : “haram haram haram” Maksudnya bahwa bunga bank itu hukumnya haram. Namun sebelumnya beliau juga beberapa mengutip pendapat yang beliau tidak setujui, seperti Fahmi Huwaidi dan Sayid At-Thantawi.
3. Syeikh Bin Baz
Di kalangan ulama Saudi, pendapat yang mengharamkan bunga bank datang dari mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz bin Bas (w. 1999) rahimahullah.
4. Syeikh Abu Zahrah
Syeikh Abu Zahrah (w. 1974 M) semasa hidupnya pernah menjadi Syeikh Al-Azhar. Beliau termasuk salah satu pimpinan Al-Azhar yang punya pandangan bahwa bunga bank termasuk riba.
5. Syeikh Jadil Haq Ali Jadil Haq
Generasi penerusnya dari kalangan pimpinan Al-Azhar ada Syeikh Jadil Haq Ali Jadil Haq (w. 1996 M). Beliau tercatat sebagai ulama yang punya pandangan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan.
Sementara di antara ulama kontemporer yang berpendapat mualah dengan bank konvensional tidak haram antara lain Dr. Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Abdul al-Wahab Khallaf dan juga Syeikh Mahmud Shaltut.
Syeikh Dr. Ali Jum’ah merupakan mufti resmi Negara Mesir. Pendapat beliau tentang bunga bank yang pertama adalah bahwa para ulama tidak pernah sampai pada kata sepakat tentang kehalalan atau keharamannya.
Selalu ada pendapat yang mengharamkan sekaligus yang menghalalkan..Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang menyebutkan bahwa keharaman bunga bank kitu sudah menjadi ijma’ jumhur ulama.
Syeikh Dr. Ali Jum’ah cenderung kepada pendapat pendahulunya, yaitu Sayyid Tantawi dan juga fatwa resmi Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah di Al-Azhar yang memandang bahwa bunga bank itu bukan riba yang diharamkan.”Beliau lebih cenderung memandang uang itu adalah share hasil keuntungan usaha,”
Penetapan keuntungan yang harus diberikan oleh pihak peminjam kepada pemilik harta menurut beliau bukan riba, karena merupakan pembagian hasil usaha dan keuntungan yang sudah diawali dengan saling ridha.
5. Syeikh Dr. Ahmad Tayyib
Beliau saat ini masih menjabat sebagai Syaikhul Azhar di Mesir. Pendapat beliau tentang bunga bank ini sama dengan para pendahulunya, yaitu menganggapnya bukan sebagai riba.
6. Syeikh Dr. Muhammad Sayyid Thanatawi
(w. 2010 M). “Dalam fatwanya beliau menyebutkan bahwa bunga dari hasil menabung di bank bukanlah riba yang haram, tetapi merupakan bagi hasil atas usaha bersama,”
Meski pembagian hasil itu sendiri sudah ditentukan nilainya di awal, namun menurut beliau, hal itu sah-sah saja karena sudah melewati proses saling ridha di antara kedua belah pihak. Jadi fatwa beliau ini lebih spesifik lagi, bukan hanya yang menyimpan uangnya saja yang aman dari riba, bahkan ketika seorang meminjam uang dari bank (menjadi debitur), lalu dia bayar ‘bunga’ kepada bank, maka itu pun menurut beliau bukan riba, melainkan bagi hasil.
7. Fahmi Huaidi
Fahmi Huwaidi adalah salah satu pemikir muslim asal Mesir yang bermukim di Inggris yang juga tak menganggap bunga bank haram.
Sebenarnya para ulama yang sepakat tidak memandang bunga bank sebagai riba yang haram cukup banyak. Di antaranya sebagian kecil ulama itu adalah: Dr. Abdurrahman Al-‘Adawi, Dr. Muhammad Ar-Rawi, Dr. Nashr Farid Washil, Dr. Yasin Suwailim, Dr. Abdul Azhim Barakah, Dr. Muhammad Salam Madkur, Dr. Muhammad Asy-Syahat Al-Jundi, dan Dr. Ismail Ad-Daftar.
PENUTUP
Core bisnis Bank Konvensional yang hanya mau untung saja yang diterapkan dalam sistim pengelolaannya adalah prinsip yang tidak menghargai pihak pengguna uang, tidak mau berbagi resiko (tanggung rente), tidak sesuai dengan tujuan syariat. Core bisnis Bank Syariah yang untung-rugi, bahwa untung rugi ditanggung bersama antara pihak Bank dan pengusaha adalah sejalan dan dengan tujuan syariat yang memuliakan manusia.
Berkenaan dengan bunga Bank Konvensional oleh ulama kontemporer ada yang mengharamkan dan masih ada pula yang membolehkannya adalah ranah ijtihad yang patut dihargai.
Namun, karena sudah ada Bank Syariah yang bagi hasilnya lebih nyata, adil, dan ditanggung bersama antara Bank dengan pengguna modal, maka perdebatan hukum tentang bunga Bank sudah harus diambil yang lebih kuat, yaitu sistim bagi hasil. Bank Syariah harus leading dan menjadi pilihan bagi umat Islam. Fatwa ulama, dalam hal ini MUI di Indonesia, telah nyata dan sudah ada Dewan Syariah Indonesia yang mengawal dan membimbingnya. Semoga, dipahami dan diikuti umat, amin. 21072021.