Katalisator Pencapaian Local Taxing Power

0
464

Oleh:Dr. Fauzan Misra
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas)

Desentralisasi merupakan salah saatu instrumen untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi diwujudkan melalui (i) pelimpahan kewenangan dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, pemungutan pajak (taxing power), pembentukan dewan yang dipilih oleh rakyat, dan (ii) pemberian bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Salah satu dimensi desentralisasi yang dijalankan adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah perihal sumber-sumber penerimaan dan pembelanjaan.

Di Indonesia, kebijakan desentralisasi telah diterapkan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini memuat berbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan dan hubungan keuangan antara keduanya. Kedua undang-undang tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada tahapan berikutnya, kedua UU ini juga diganti masing-masing dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 1 Tahun 2022.

Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu diaturlah hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangan masing-masing. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah perlu diatur sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber- sumber penerimaan yang ada. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.

Perhatian terhadap capaian-capaian target desentralisasi fiskal telah menarik perhatian banyak pihak. Tidak sedikit yang mempertanyakan kesuksesan otonomi atau desentralisasi di Indonesia yang telah berjalan selama lebih kurang 23 tahun ini. Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota dari tahun 2001 hingga 2011 masih dibawah 10 persen atau masuk kriteria sangat kurang dalam kategori derajat desentralisasi. Kemudian meningkat menjadi di atas 10 persen mulai tahun 2012. Peningkatan ini diyakini sebagian besar disebabkan oleh hadirnya Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur adanya perluasan basis pajak daerah, keleluasaan penerapan tarif pajak daerah, dan pengalihan PBB P2 dan BPHTB menjadi pajak daerah. Secara rata-rata selama kurang lebih 20 tahun terakhir ini derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota hanya sebesar 11,13 persen. Dengan demikian derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia masuk kriteria kurang yang menunjukkan minimnya kemampuan keuangan kabupaten/kota untuk membiayai belanja daerahnya.

Studi-studi sebelumnya telah mengkritisi keterbatasan daerah dalam mengoptimalkan kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya, terutama pajak daerah. Sebagai contoh, Jia et al. (2018) menyoroti keefektfian insentif pajak dalam meningkatkan penegakan hukum pajak (tax enforcement). Salah satu faktor yang diatribusikan kepada kondisi tersebut adalah masih terbatasnya internalisasi peran para pemangku kepentingan dalam perumusan, evaluasi, sampai penetapan regulasi pajak daerah. Alemanno (2016) menekankan bahwa keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder’s engagement) adalah salah satu kunci sukses implementasi kebijakan regulasi.

Data dan fakta di atas menyiratkan bahwa pemerintah daerah masih harus berupaya keras membangun sistem dan lingkungan perpajakan mereka. Hal ini memberikan pesan penting bahwa reformasi kebijakan (policy reform) dan reformasi administrasi (administrative reform) menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintah daerah. Kondisi ini semakin krusial dengan adanya desakan pemerintah daerah untuk merevisi dan mengundangkan Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerahnya paling lambat Pertengahan tahun 2023. Setelah Perda tentang PDRD disahkan, tuntutan ini tetap memberikan pesan yang mengharuskan pemerintah daerah untuk terus mengukur dan mengevaluasi posisi mereka saat ini agar pengaturan yang telah disusun tidak hanya memiliki legitimasi, akan tetapi juga memiliki kekuatan (power) dalam pengimplementasiannya. Kondisi inilah kemudian yang diharapkan dapat menciptakan local taxing power yang optimal.

Berbagai studi telah mencoba mengurai upaya pemerintah daerah dalam memperkuat local taxing power. Payton (2013) mengusulkan outsourcing pemungutan pajak daerah kepada pihak ketiga. Mason (2011) mengusulkan perlunya keseimbangan taxing power dan spending power dalam menjaga stabilitas keuangan negara bagian (state). Bimonte (2015) secara lebih khusus menyoroti strategi dan efek-samping pajak properti (PBB) terhadap pembangunan kota di Italia. Misra dan Bahari (2022) melihat dari upaya enforcer (atau disebut juga administrator atau fiskus) dalam mengidentifikasi sumber dan bagaimana enforcer menggunakan powernya, strategi memperkuat legitimasi, dan diseminasi urgensi pengaturan pajak daerah.

Local Taxing Power sebagai Salah Satu Pilar UU HKPD

Sifat dasar (nature) pemerintah daerah yang dekat dengan masyarakat dibandingkan pemerintah pusat membuat peran pemerintah daerah sangat penting dalam merealisasikan pembangunan (Anessi-Pessina, et al., 2020), namun, praktik perpajakan di level pemerintah daerah masih banyak mengalami permasalahan seperti lemahnya penegakan hukum terhadap wajib pajak. Van Rooij (2016) mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah daerah kelihatan mempunyai kualitas legal yang baik, tapi seringkali gagal mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk kondisi Indonesia, masih dijadikannya local taxing power sebagai salah satu pilar dalam tujuan penerbitan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau lebih lazim disebut dengan Undang-Undang HKPD, menyiratkan bahwa persoalan tersebut belumlah selesai. Padahal, saat diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang memuat, diantaranya, kewenangan penetapan tarif oleh pemerintah daerah pada batasan yang ditentukan dan pengalihan sebagian pajak pusat ke daerah (PBB-P2 dan BPHTB), juga dinyatakan bahwa tujuan pengaturan tersebut adalah memperkuat local taxing power.

Tujuan dan Strategi Menurut UU HKPD dan PP KUPRD

Desain Pajak Daerah menurut undang-undang ini adalah untuk meningkatkan local taxing power dengan tetap menjaga kemudahan berusaha di daerah. Berdasarkan hal tersebut, dibuat beberapa strategi pencapaiannya, yang meliputi: (1) Mendorong kemudahan berusaha di daerah, (2) Penyederhanaan retribusi dengan memfokuskan kepada retribusi atas layanan wajib, (3) Perluasan basis pajak (opsen pajak antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota), dan (4) Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengaturan PDRD diarahkan pada penurunan compliance cost (dari sisi wajib pajak) dan administrative cost (dari sisi fiskus).

Selanjutnya, pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 mencakup berbagai aspek pengelolaan Pajak dan Retribusi, khususnya pelaksanaan Pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan Pajak, Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak dan Retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi. Muatan pengaturan ini menjadikan sisi administrasi perpajakan dari aspek ketentuan umum dan tata cara (prosedur) perpajakan menjadi semakin kuat dalam menopang pengaturan aspek materil masing-masing jenis pajak dan retribusi daerah. Kondisi ini juga memberikan kepastian hukum lebih kuat dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.

Selain ketentuan mengenai pelaksanaan Pemungutan Pajak dan Retribusi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 ini juga mengatur mengenai pelaksanaan bagi hasil Pajak dan penerimaan Pajak yang diarahkan penggunaannya. Restrukturisasi Pajak yang dilakukan dengan memberikan kewenangan Opsen atas PKB dan BBNKB membuat kewajiban pemerintah provinsi hanya wajib membagi-hasilkan Pajak Air Permukaan (PAP), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Pajak Rokok. Selain itu, PP ini mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan PKB, Opsen PKB, PBJT atas Tenaga Listrik, Pajak Rokok, dan PAT. Salah satu perubahan fundamental mengenai dasar pengenaan Pajak adalah kebijakan terkait dasar pengenaan PBB-P2 yaitu melalui pengaturan bahwa dasar pengenaan PBB-P2 yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Teknis seperti ini kembali seperti penghitungan PBB terutang sebelum dialihkan sebagai pajak daerah. Meskipun demikian, pemerintah daerah perlu bijaksana menyikapi rentang Nilai Jual Kena Pajak ini karena akan berkaitan erat dengan penetapan tarif PBB-P2.

Memaknai dan Mewujudkan Local Taxing Power di Daerah

Para Informan riset Misra, dkk (2024) memaknai local taxing power dengan sudut pandang yang hampir serupa. Informan (kode BPDPKU) menyebut local taxing power sebagai kondisi yang menunjukkan kemampuan daerah secara optimal memungut pajak daerah di wilayahnya. Ia menyebut bahwa Upaya ini memang akan terus berkelanjutan karena perubahan situasi dan lingkungan perpajakan daerah yang terus berubah. Informan (kode BPDPDG) menyatakan bahwa local taxing power sebagai pilar HKPD merepresentasi kemampuan daerah dalam memaksimalisasi seluruh kemampuan dalam penciptaan penerimaan pajak daerah yang optimal.

Beberapa poin dan upaya yang dilakukan administrator pajak daerah berdasarkan dimensi-dimensi pada teori pemangku kepentingan pada kedua kota dapat dijelaskan sebagai berikut: 
a. Regulasi yang Lengkap dan Kuat sebagai Dasar Legitimasi Bapenda
Regulasi yang lengkap dan jelas selalu menjadi perhatian utama, terutama untuk area-area penting seperti pemeriksaan, penghapusan, pembayaran, pelaporan, dan perkada yang memuat SOP-SOP. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan kekuatan dan legitimasi yang dimiliki oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sebagai otoritas pajak daerah.

Menurut informan dari Bagian Hukum (BHUPKU), penguatan regulasi merupakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) utama bagian hukum. Bagian Hukum berperan sebagai lead-sector dalam hal ini, didukung dengan staf penelaah Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Daerah tentang Retribusi dan Pajak Daerah (PDRD). Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan tidak hanya sah secara hukum (legitimasi), tetapi juga kuat (powerful) dan berdampak (impactful). Informan BHUPKU menjelaskan:

“Penguatan regulasi adalah Tupoksi utama dari Bagian Hukum, yang juga menjadi lead-sector dalam hal ini. Kami dilengkapi dengan staf penelaah Perda PDRD sehingga regulasi yang dilahirkan tidak hanya legitimat, tetapi juga powerful dan impactful. Kami memiliki aplikasi BALADAG (Bahas Legislasi di Tangan Sekarang), dan mulai tahun 2024 ini anggaran pembahasan Ranperda ada di Bagian Hukum, yang memungkinkan kami terlibat sejak awal. Ini juga mempermudah proses harmonisasi dengan Kemenkumham.” (BHUPKU)

Informan BHUPKU juga menyebutkan bahwa Peraturan Wali Kota (Perwako) turunan dari PDRD Kota Pekanbaru sedang dalam tahap pembahasan. Aplikasi BALADAG telah terintegrasi dengan JDIH Kominfo, yang memudahkan penyusunan regulasi yang berkualitas.

Bagian Hukum, sebagai ujung tombak dalam penyusunan regulasi di Kota Pekanbaru, memiliki tiga poin penting dalam mewujudkan local taxing power. Pertama, pembentukan tim bantuan hukum yang disebut Tax Ranger, yang terdiri dari aparatur Satpol PP, Yustisi Kota Pekanbaru, dan Bagian Hukum. Kedua, tim perumus dan penyusun peraturan perundang-undangan yang terdiri dari empat ASN, meski posisi ahli perancang peraturan belum terisi dan diharapkan akan segera terisi dengan adanya formasi PNS dan PPPK baru. Ketiga, tim JDIH yang berfungsi untuk mengelola dan mendistribusikan produk hukum kepada masyarakat.

b. Telaah Potensi oleh Inspektorat untuk Validasi Kajian PAD
Telaah potensi yang dilakukan oleh Inspektorat menjadi umpan balik penting bagi kajian yang dilakukan oleh Bapenda. Telaah pihak luar atas potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat bermanfaat bagi Bapenda, terutama dalam menghadapi tekanan untuk meningkatkan PAD dari sektor pajak daerah. Tantangan dalam menetapkan target APBD yang rasional berdasarkan kajian dan telaah potensi menjadi lebih jelas, dan hal ini membantu menghindari tekanan dari pihak-pihak yang meminta kenaikan target penerimaan PAD tanpa didukung data yang kuat.

Informan dari BPDPKU mengakui bahwa salah satu kelemahan saat ini adalah kurangnya kajian potensi PAD yang valid, meskipun ada tekanan anggaran yang semakin tinggi. Ia menyatakan:

“Saat ini kami masih lemah dalam audit terhadap perencanaan, termasuk perencanaan penerimaan PAD yang berbasis kajian potensi. Akibatnya, target menjadi tidak teruji, dan angka-angka yang dihasilkan belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Kami masih memerlukan kajian potensi PAD yang benar-benar menggambarkan potensi riil.” (BPDPKU)

c. Sosialisasi, Pengembangan Staf, dan Pelayanan Wajib Pajak
Sosialisasi mengenai pajak daerah telah berjalan dengan baik, dengan fokus pada pengembangan staf dan pelayanan yang selalu siap menjadi mitra bagi wajib pajak. Hal ini memastikan bahwa masyarakat dan wajib pajak mendapatkan pemahaman yang cukup mengenai kewajiban mereka serta proses-proses terkait pajak daerah.
d. Kemampuan Berkomunikasi dan Kerjasama Antar Instansi
Kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi menjadi kunci keberhasilan dalam menjalankan tugas di Bapenda. Komunikasi yang efektif dengan berbagai pihak, seperti Inspektorat, Bagian Hukum, dan DPRD, sangat penting untuk kelancaran proses pengelolaan pajak daerah. Selain itu, kerjasama yang terjalin dengan instansi vertikal, seperti Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dan PT. PLN, juga mendukung pencapaian target dan peningkatan pendapatan daerah.

Peningkatan kapasitas fiskal daerah adalah salah tujuan dari otonomi dan desentralisasi di Indonesia. Peningkatan kapasitas ini hanya akan terwujud jika kemampuan daerah dalam pengoptimalan penerimaan dari sumber-sumber PAD dapat dikelola secara optimal. Berbagai regulasi, pengaturan, reformasi, dan inovasi telah diperbaiki dan dilakukan. Sekarang mari kita berhadap semua pemangku kepentingan menjalankan tugas dan fungsinya secara dedikatif dan bertaggungjawab. Dari sanalah kita percaya bahwa penguatan pajak daerah (local taxing power) sebagai amanat penting UU HKPD dapat diwujudkan.

 

PI  

Alamat

  1. GAIA Dental Clinic - Veteran Jl. Veteran No. 74 D, Padang Pasir, Kec. Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat 25112 Kontak: 0812 7755 1334
  2. GAIA Dental Clinic - Simpang Haru Jl. Andalas No. 6, Simpang Haru, Kec. Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat 25123 Kontak: 0812 6200 8077
  3. GAIA Dental Clinic - Taluak Ampek Suku Jl. Raya Kapas Panji, Taluak Ampek Suku, Kec. Banuhampu, Kab. Agam, Sumatera Barat 26181
  4. GAIA Dental Clinic - Pekanbaru Jl. Riau No. 26, Kp. Bandar, Kec. Sempalan, Kota Pekanbaru, Riau 28153 Kontak: 0812 3000 2677

Kontak Umum

Email: info@gaiadentalclinic.id <>Bukittinggi: 0812 1200 9877

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini