Oleh: Muhammad Kosim
Polemik Jilbab masih menjati topik hangat yang perlu dikomentari di kolom ini. Berawal dari kasus jilbab di SMKN 2 Padang, pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan SKB 3 Menteri (Kemdikbud, Kemendagri dan Kemenag) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Di tengah persoalan pendidikan yang sangat kompleks, khususnya di era pandemi Covid-19 ini, pemerintah pusat justru mengeluarkan SKB 3 Menteri yang menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Meminjam istilah Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan era SBY, “Kurang gawean, kurang pekerjaan”.
Ada masyarakat yang tidak membaca SKB itu dengan utuh, lalu menyebarkan informasi bahwa pemerintah melarang siswa mengenakan jilbab di sekolah. Tentu, kelompok ini tidak perlu dilayani, cukup kirim saja salinan SKB itu agar dibaca tuntas.
Namun ada pula dua kelompok masyarakat yang literat dengan pemahaman yang berbeda. Kelompok pertama memandang SKB ini sudah tepat. Di antara argumennya adalah SKB 3 Menteri ini memberikan kebebasan pada siswa untuk berpakaian sesuai ajaran agamanya atau tidak, pemerintah tidak boleh menjadikan hukum atau aturan untuk memaksa seseorang mengenakan pakaian sesuai agamanya, dan seterusnya. Lebih jauh, ada pula di antara kelompok ini yang mempertanyakan jilbab sebagai pakaian muslimah.
Masyarakat yang kontra mengkritisi SKB ini dengan mengemukakan dalil yang beragam pula. Apalagi SKB ini dinilai lahir sebagai respons cepat dari kasus SMKN 2 Padang, tanpa investigasi dari tim pusat, dan tanpa ruang diskusi dengan masyarakat Sumatera Barat, khususnya kota Padang, yang telah menerapkan aturan berpakaian muslim/muslimah lebih 15 tahun; SKB 3 ini justru memerintahkan pemerintah daerah mencabut aturan terkait penggunaan pakaian seragam dengan kekhasan agama tertentu.
Dan saya termasuk yang mengkritisi SKB ini dengan beberapa alasan. Pertama, pakaian menutup aurat (termasuk jilbab) bagian dari pendidikan Islam. Siswi muslimah diminta mengenakan jilbab sebagai bagian dari edukasi menutup aurat. Sebab menutup aurat adalah ajaran Islam (Qs. Al-Ahzab ayat 59) yang wajib ditaati.
Ada yang berpendapat rambut bukanlah aurat sehingga boleh tidak berjilbab bagi perempuan. Pertanyaannya, adakah ulama-ulama klasik yang berpendapat demikian? Mana kitab Fiqh yang dipelajari di pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini membolehkan perempuan muslimah memperlihatkan rambut dan lehernya di hadapan orang yang bukan mahram-nya?
Mufassir kenamaan, Gus Baha’ (Ahmad Bahauddin Nursalim) menegaskan: “Andaikan ada kelonggaran dalam mazhab (tentang aurat perempuan), maka yang bukan aurat hanyalah wajah dan telapak tangan, soal keluarga Anda belum melakukan sepenuhnya, yakinilah itu adat di Indonesia”. Pesan ini sebagai respons ulama NU ini terhadap fenomena beberapa ulama Indonesia yang keluarganya tidak berjilbab.
Ada lagi yang berkilah, apa gunanya berjilbab tetapi hatinya kotor? Jangan memilih dan memilah perintah agama. Menutup aurat perintah, menyucikan hati juga perintah; bukan memilih yang satu dan meninggalkan perintah yang lain.
Kedua, sebagai bagian dari ajaran Islam, maka mendidik anak berjilbab butuh kerjasama orang tua, sekolah, masyarakat hingga pemerintah. Satu sisi, SKB ini memang menguntungkan bagi setiap pemeluk agama, karena pada diktum ketiga disebutkan bahwa pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu. Anak-anak perempuan beragama Islam boleh mengenakan pakaian menutup aurat, termasuk jilbab, di mana pun daerahnya: mayoritas atau minoritas muslim.
Namun pada diktum yang sama, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, menyaratkan dan mengimbau penggunaan pakaian dengan kekhasan agama tertentu. Jadi, sekolah mengimbau siswi-nya berjilbab pun tak boleh!
Tidak bisa dipungkiri, fakta masyarakat Sumatera Barat yang umumnya berjilbab sebagai efek positif dari aturan berjilbab di sekolah bagi siswi muslimah. Padahal pemerintah daerah hanya memerintahkan siswi muslimah yang berjilbab, efeknya para guru dan orang tua muslimah ramai-ramai mengenakan jilbab.
Padahal sebelum aturan itu, para ulama, guru agama, dan pendidik peduli ajaran agama sudah berusaha keras menyadarkan anak-anak agar menutup aurat. Dan tahun 2004, ketika menjadi guru PPL dan guru honorer, peristiwa itu penulis alami sendiri. Hasilnya jauh dari harapan.
Jadi, pendidikan Islam itu membutuhkan kerjasama yang harmonis antara orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Maka persoalan aturan terkait pakaian berbusana muslim/muslimah di Sumatera Barat seharusnya tidak dipandang hanya dari kaca mata hukum, tetapi lihatlah dari aspek pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Hemat penulis, SKB 3 Menteri ini seharusnya berbunyi “pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, atau mengimbau penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu kepada peserta didik yang berbeda agama”. Jika ini aturannya, tentu tidak akan menimbulkan polemik.
Sebaliknya, jika ada aturan memakai jilbab untuk nonmuslim, harus dicabut, karena melanggar hak peserta didik menjalankan keyakinannya. Tetapi sekolah memerintahkan siswi muslimah memakai jilbab sebagai bagian dari perintah agama untuk menutup aurat, kenapa dilarang? Kalau pun berdebat kata “mewajibkan” bermakna “paksaan”, lalu kenapa “mengimbau” pun dilarang?
Karena itulah, sulit menyangkal kesan kuat adanya upaya sekularisme pendidikan mengiringi SKB ini: peserta didik diberikan kebebasan untuk mentaati atau mengabaikan ajaran agamanya. Padahal mengabaikan ajaran agama tak pantas disebut orang yang berjiwa Pancasialis.
Ketiga, SKB 3 Menteri ini tidak sejalan dengan regulasi yang lebih tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, bahwa secara substantif, SKB 3 Menteri tersebut tidak sejalan dengan prinsip dalam pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Selain itu UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 juga dengan tegas menyebut bahwa iman, takwa, dan akhlak mulia merupakan indikator pertama dari tujuan pendidikan nasional. Seharusnya, pemerintah pusat mengapresiasi (bukan justru mengancam) pemerintah daerah yang menguatkan peserta didik muslim dan muslimah di sekolah untuk menutup aurat sebagai bagian dari ajaran agama. Sebab tanpa taat beragama, mana mungkin seseorang disebut beriman dan bertakwa?
Hemat penulis, SKB 3 Menteri yang menuai kontoversi terkait pakaian kekhasan agama mesti dicabut, paling tidak direvisi dengan tetap mengedepankan dialog dan kerukunan bangsa. Jangan biarkan anak bangsa saling membenci yang pada akhirnya merugikan bangsa besar ini.
Namun, jika pemerintah pusat juga tetap pada keputusannya, maka umat jangan berputus asa. Orang tua, ninik mamak, para guru, ulama, dan tokoh masyarakat yang peduli agama Allah agar tetap mendidik anak-anak kita menutup aurat. Jika pemerintah daerah memang tak boleh lagi terlibat untuk mengatur dan mengimbau anak-anak perempuan kita mengenakan jilbabnya, maka pendidikan informal semakin wajib diperkuat. Wallahul musta’an. (pt)
bebi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini