Oleh: Fauzan Misra- Dosen Akuntansi FEB Unand
PadangTIME,com – Alley dan James (2006) menyatakan bahwa kepatuhan pajak menjadi perhatian serius pemerintahan di seluruh dunia karena ketidakpatuhan tidak hanya memengaruhi jumlah pajak yang diterima akan tetapi juga berdampak pada pengimplementasian kebijakan pemerintah. Ciziceno dan Pizzuto (2022) dalam pengantar artikelnya tentang kepuasaan hidup dan moral pajak, mendukung pernyataan ini dengan menyatakan bahwa masalah penggelapan pajak adalah masalah penghambat utama penciptaan pendapatan negara. Mengingat pentingnya pajak bagi suatu negara, pemerintah dalam berbagai kesempatan terus mendorong upaya-upaya deterrence untuk menurunkan perilaku ketidakjujuran fiskal ini. Mempertimbangkan besarnya konsekuensi ketidakpatuhan terhadap hukum pajak, studi-studi kepatuhan pajak telah mendapatkan perhatian yang besar dan berlanjut menjadi platform penting untuk mengetahui mengapa orang-orang patuh dan tidak patuh pada hukum pajak.
Beberapa studi tentang kepatuhan pajak, penggelapan dan penghindaran pajak telah mengidentifikasi faktor-faktor tersebut seperti peningkatan probabilitas audit, pengendalian masif terhadap korupsi, dan peningkatan tax enforcement. Meskipun demikian, beberapa peneliti melihat efek jangka panjang dari deterrence measures ini belum efektif (seperti diungkap William dan Franic, 2016). Oleh karena itu, upaya yang dapat menciptakan efek jangka panjang perlu untuk dicari dan tidak hanya bertumpu pada upaya-upaya deterrence dan enforcement yang sebagian besar hanya efektif dalam jangka pendek. Selain itu, peningkatan kepatuhan, atau pemitigasian perilaku penggelapan pajak tidak dapat lagi hanya mengandalkan upaya yang berorientasi memberikan “pamaksaan” wajib pajak untuk patuh. Capasso et al. (2020) menyatakan bahwa pemerintah perlu menaruh prioritas pada penciptaan transparansi fiskal dan pembangunan moral pajak, daripada hanya menempatkan upaya kepatuhan dengan memaksa masyarakat patuh pada aturan perpajakan. Dimensi lain yang perlu menjadi perhatian adalah dorongan faktor budaya, terutama dalam menciptakan rasa percaya pada institusi dan sistem perpajakan. Demikian pula dengan perlunya persepsi keadilan pada sistem perpajakan yang berjalan. Tsumakis et al. (2018) menyiratkan bahwa budaya mungkin dapat menjelaskan variasi pada tindakan penggelapan pajak yang terjadi.
Kepatuhan pajak meliputi proses pengambilan keputusan etis, apakah akan patuh atau tidak dengan hukum pajak. Crane dan Matten (2007) menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis merupakan sebuah proses sosial yang ditransfer dalam budaya dari generasi ke generasi. Menyadari pentingnya pengetahuan tentang determinan penciptaan fitur-fitur perpajakan seperti persepsi keadilan dan kepercayaan terhadap sistem perpajakan, kami meneliti apakah kepercayaan dan persepsi keadilan dapat dibangun melalui budaya yang ada dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, kami menguji pengaruh 2 (dua) dimensi budaya dari Hofstede (1980), yakni kolektivis/individualis dan jarak kekuasaan (power distance) terhadap penciptaan rasa percaya pada sistem perpajakan dan persepsi bahwa sistem pajak tersebut bersifat adil. Sebelum membahas hasil studi kami, kami memaparkan dulu beberapa penjelasan ringkas tentang fitur-fitur sistem perpajakan, dua dimensi budaya yang diuji pada studi ini, dan hasil studi kami, serta implikasi penting dalam perumusan kebijakan perpajakan.
Fitur-Fitur Sistem Perpajakan,
Di dalam perpajakan pastinya membutuhkan prinsip agar sistem pemungutan pajak berjalan dengan lancar dan efektif. Disamping itu, prinsip pajak juga dibutuhkan sebagai acuan untuk penerapan pelayanan yang terbaik. Prinsip-prinsip tersebut meliputi keadilan, kepastian, kelayakan, dan ekonomi.
1. Prinsip Keadilan (Equity atau Fairness)
Keadilan vertikal maupun keadilan horizontal dalam pemungutan pajak harus dipenuhi. Prinsip keadilan intinya memperhatikan pengenaan pajak secara umum serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak atau sebanding dengan tingkat penghasilannya. Keadilan horizontal yaitu pembayar pajak dengan kondisi sama atau sejajar akan dikenai beban pajak yang sama. Sementara keadilan horizontal yaitu ketika pembayar pajak dengan jumlah penghasilan lebih besar akan menanggung beban pajak lebih besar dibanding pembayar pajak dengan penghasilan kecil.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan tegas, jelas, dan terdapat kepastian dan jaminan hukum. Prinsip kepastian memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak mengenai objek pengenaan pajak, besaran pajak atau dasar pengenaan pajak, serta segala tata cara dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Hal tersebut dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh Wajib Pajak dan memudahkan administrasi.
3. Prinsip Kecocokan/Kelayakan (Convenience)
Pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan Wajib Pajak serta hendaknya sejalan dengan sistem self-assessment. Artinya, pemerintah mengutamakan serta memperhatikan layak atau tidaknya seseorang dikenakan pajak, sehingga orang yang dikenai pajak akan senang hati dan tulus memenuhi dan membayar kewajiban pajaknya.
4. Prinsip Ekonomi (Economy)
Pada saat menetapkan dan memungut pajak harus mempertimbangkan biaya pemungutan pajak dan harus proporsional. Pemerintah akan menerapkan sistem perpajakan yang efektif dan efisien, seperti biaya pemungutan pajak yang rendah. Jangan sampai biaya pemungutan lebih tinggi dari beban pajak yang dikenakan.
Dimensi Budaya: Kolektivis/Indivdualis dan Jarak Kekuasaan
Budaya adalah suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri manusia. Shudarshan et. Al (2001) mendefinisikan budaya adalah suatu kondisi yang dapat memberi dorongan terbentuknya pola pikir dan perilaku pada individu dan masyarakat. Secara sederhana budaya merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis pada kehidupan sosial. Hofstede (2001) mendefinisikan budaya sebagai kumpulan-kumpulan program pola pikir yang secara kolektif membedakan anggota suatu kelompok dari yang lainnya, suatu bangsa dengan bangsa lainnya, atau satu negara dengan negara lainnya. Hofstede (2005) menyatakan perbedaan utama budaya antara negara/etnis atau kelompok regional terletak pada nilai-nilai mereka. Perbedaan sistematis ada dalam nilai-nilai tentang kekuasaan dan ketidaksetaraan, hubungan antara individu dan kelompok, penekanan ditempatkan pada pencapaian tugas atau membangun hubungan, cara untuk berurusan dengan ketidakpastian hidup, dan berorientasi pada masa lalu, sekarang atau masa depan. Hofstede (2010) mengelompokkan budaya nasional menjadi enam dimensi budaya. Keenam dimensi tersebut adalah power distance, individualism vs collectivism, uncertainty avoidance, masculinity vs femininity, long term orientation vs short term orientation, dan indulgence vs restraint. Kami memberikan pembatasan pada pembahasan dua dimensi yang terpilih pada studi yang kami lakukan, yakni individualism vs collectivism dan power distance.
Individualism (IDV) versus Collectivism; kondisi yang menggambarkan hubungan antar individu pada suatu kelompok, organisasi, ataupun masyarakat. Masyarakat dengan cara berpikir individualistis, hanya peduli tentang anggota keluarga dekat mereka dan ingin membedakan diri dengan orang lain. Dalam masyarakat kolektivis lebih menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelompok dalam masyarakat dan lebih mungkin untuk mengejar kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri sendiri. Individualism versus collectivism mencerminkan sejauh mana identifikasi individu dengan kelompok, dan pentingnya kelompok dalam kehidupan individu.
Menurut Hofstede (1980), individualisme lebih menekankan pada pentingnya pendapat, kebutuhan, dan tujuan pribadi, sedangkan kolektivisme menempatkan pandangan, kebutuhan, dan tujuan kolektif di atas kepentingan pribadi. Individualisme lebih dihargai dalam budaya barat (misalnya di Amerika Serikat), sedangkan budaya timur (misalnya Indonesia) lebih menghargai kolektivisme. Meskipun Hofstede (1980) mengidentifikasi individualisme dan kolektivisme sebagai dua titik yang berseberangan (artinya budaya yang memiliki lebih banyak karakteristik individualisme berarti memiliki lebih sedikit karakteristik kolektivisme), namun para ahli sosiologi juga berpendapat bahwa individualisme dan kolektivisme merupakan dua konstruk yang berbeda dan dapat muncul bersama-sama pada suatu masyarakat sebagai nilai-nilai substansial (Triandis, 1994). Individualisme termanifestasi dalam bagaimana seseorang memandang dirinya sebagai makhluk yang mempunyai tanggung jawab pribadi terhadap kesejahteraannya dan tidak bergantung pada dukungan atau bantuan orang lain. Jika seseorang mempersepsikan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan hidupnya bergantung pada hubungannya dengan orang lain, serta dirinya memiliki komitmen dan loyalitas yang tinggi pada masyarakat tersebut, maka dirinya akan memiliki karakter individualis yang rendah (Hofstede 2001). Triandis (1995, h. 2) mendefinisikan kolektivisme sebagai “pola sosial yang terdiri dari individu-individu yang terkait erat yang melihat diri mereka sebagai bagian dari satu atau lebih kelompok (keluarga, rekan kerja, suku, bangsa); terutama dimotivasi oleh norma-norma, dan tugas-tugas yang dibebankan oleh, kolektif-kolektif itu; bersedia untuk memprioritaskan tujuan kolektif ini di atas tujuan pribadi mereka sendiri; dan menekankan keterhubungan mereka dengan anggota kolektif ini.” Sebaliknya, dalam masyarakat yang sangat individualis, jaringan sosial kurang terhubung secara padat, diri dipandang sebagai independen dari kelompok, tujuan pribadi diprioritaskan daripada tujuan kolektif, dan kehidupan sosial kurang diatur oleh pemantauan dan sanksi tingkat tinggi (Hofstede 1980; Triandis 1995; Oyserman dkk. 2002). Sementara itu, dimensi jarak kekuasaan (rendah versus tinggi) mencerminkan distribusi kekuasaan dalam masyarakat, dan pentingnya orang lain yang berkuasa dalam kehidupan individu. Dalam suatu kelompok seseorang individu menyakini PDI yang tinggi akan menerima adanya hierarki dan mengakui bahwa setiap individu secara naluri berada pada posisi-posisi tertentu tanpa harus mempersoalkan hirarki tersebut. Tsakumis et al. (2018) menemukan bahwa Power Distance oleh masyarakat berpengaruh terhadap kecenderungan melakukan penggelapan pajak antar Negara. Secara spesifik, mereka menemukan negara dengan Power Distance tinggi menunjukkan tingkat penggelapan pajak yang tinggi
Hipotesis dan Hasil Penelitian
Literatur menunjukkan bahwa budaya individualisme/kolektivisme mempunyai hubungan dengan kepercayaan. Sebagai contoh, penelitian yang membandingkan sampel dari Jepang dan Amerika menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan umum pada budaya individualis (Amerika) lebih tinggi daripada tingkat kepercayaan umum pada masyarakat kolektivis (Jepang) (Yamagishi, 2011; Berigan and Irwin, 2011). Lebih jauh Yamagishi (2011) berargumen bahwa dalam konteks individualis, seseorang akan mengatribusikan perilaku orang lain pada karakteristik individual, sedangkan pada budaya kolektivis, perilaku orang lain akan diatribusikan pada kondisi-kondisi eksternal si pelaku. Robbins (2016) menemukan bahwa faktor-faktor intrinsik seseorang merupakan faktor penentu yang lebih kuat terhadap tingkat kepercayaannya. Demikian pula dengan jarak kekuasaan yang dicerap oleh seseorang. Cabelkova dan Strielkowski (2013) menyatakan bahwa karena perpajakan merupakan hal yang penting dalam mendistribusikan kembali kekayaan dari si kaya ke si miskin dan dengan demikian mengurangi ketidaksetaraan dalam masyarakat, maka menjadi masuk akal untuk mengharapkan bahwa di negara-negara dengan power distance tinggi akan menghasilkan proporsi pajak terhadap PDB per kapita lebih rendah dibandingkan dengan negara yang dicirikan oleh jarak kekuasaan yang kecil. Hipotesis yang kami bangun dalam studi ini berkenaan dengan pengaruh perbedaan lingkungan kerja (individualis/kolektivis) dan jarak kekuasaan (tinggi-rendah) terhadap persepsi keadilan sistem perpajakan dan kepercayaan terhadapnya.
Dengan melibatkan 102 partisipan pada studi eksperimental yang dilakukan kami menemukan bahwa perbedaan budaya yang tercipta melalui lingkungan kerja yang bersifat kolektivis atau individualis memengaruhi penciptaan persepsi keadilan pada sistem perpajakan dan kepercayaan terhadapnya. Lingkungan kerja yang lebih kolektivis, cenderung lebih reluctant terhadap sistem di luar organisasi mereka- dalam hal ini sistem perpajakan, dibandingkan dengan individu yang terlibat dalam lingkungan yang lebih individualis. Temuan ini menjadi rumit, sekaligus menarik pada lingkungan yang didominasi oleh budaya kolektivis seperti di Indonesia. Temuan bahwa jarak kekuasaan juga memengaruhi persepsi keadilan dan kepercayaan terhadap sistem perpajakan menyiratkan bahwa kedekatan hubungan antar individu dalam organisasi dapat memengaruhi ethical consideration dan ethical decision, termasuk persepsi dan kepercayaan terhadap sistem perpajakan. Hasil studi ini menyiratkan bahwa perlu membangun jarak kekauasaan yang rendah antara para pemangku kepentingan dalam menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih kondusif, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi penggelapan pajak di masa depan.