Oleh : Shelza Putri Danty (Mahasiswa Universitas Andalas dari Departemen Ilmu Politik)
Padang TIME.com –Jika Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 telah mengatur bahwa penukaran uang harus melalui lembaga resmi, mengapa praktik ini masih dibiarkan oleh pemerintah dan tidak ada penegakan hukum yang jelas?
1 minggu menjelang berakhirnya Ramadhan, jasa penukaran uang di Jalan mulai diburu masyarakat.Jasa penukaran uang pinggir jalan ini memang menyediakan uang baru mulai dari nominal 1000,2000,5000,10.000 hingga 20.000 rupiah. Tanggal 25 maret 2025 banyaknya terjadi penukaran uang di pinggir jalan kota padang
Penukaran uang di pinggiran jalan memang sering dianggap sebagai solusi cepat dan praktis bagi masyarakat,terutama menjelang hari raya. ketika kebutuhan uang pecahan kecil meningkat. Banyak orang memilih layanan ini karena prosesnya lebih simpel dibandingkan menukar uang di bank yang sering kali memerlukan antrean panjang atau persyaratan tertentu.
Seorang pedagang,Wati (nama samaran), mengaku bahwa ia hanya membantu orang-orang yang kesulitan menukarkan uang di bank. Dalam praktiknya, Ibu Wati mengambil keuntungan sebesar 20% dari setiap ikat uang yang ditukarkan.
la mulai menjalankan usaha ini sejak kelas 2 SMA. Hingga kini, pemerintah belum mengambil tindakan terkait permasalahan ini, dan setiap pedagang mendapatkan keuntungan dengan nominal yang berbeda-beda.
Ari, pada Selasa (25/03/2025), mengungkapkan bahwa ia telah menjalankan usaha jasa penukaran uang sejak kelas 6 SD pada tahun 2004. Usaha ini telah menjadi tradisi bagi masyarakat di daerah Batang Harau, yang kemudian melahirkan layanan penukaran uang di beberapa lokasi, seperti Simpang Haru,Jalan Sawahan, Jalan Ponegoro, dan Jalan Air Tawar.
Keuntungan yang mereka peroleh kini mencapai 20%, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana keuntungan hanya sebesar 10% dan masih harus dibagi dua dengan agen.
Tahun ini, keuntungan dari jasa penukaran uang cukup besar karena menukarkan uang langsung di bank semakin sulit. Selain itu, pemerintah tidak mempermasalahkan jasa ini,karena tidak ada praktik pemalsuan uang maupun penggandaan dengan nominal yang berlebihan.
Bahkan, banyak pembeli jasa penukaran uang ini berasal dari instansi pemerintahan yang terkait. Para pedagang biasanya mulai berjualan dari pukul 09.00 hingga 18.00. Nominal terbesar yang pernah diperoleh dari penjualan jasa ini mencapai Rp11 juta,dengan menukarkan uang dalam berbagai pecahan yang berbeda.
Dalam proses transaksi, para penyedia jasa penukaran uang cenderung lebih sering menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi utama. Penggunaan bahasa daerah ini bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga memiliki tujuan tertentu, seperti membangun kedekatan dengan pelanggan,menciptakan suasana yang lebih akrab, serta meningkatkan rasa kepercayaan antara penjual dan pembeli. Selain itu, dengan menggunakan bahasa daerah, komunikasi menjadi lebih mudah dipahami oleh kedua belah pihak, sehingga dapat menghindari kesalahpahaman dalam transaksi. Tak jarang,penggunaan bahasa daerah juga menjadi strategi tersendiri untuk menarik pelanggan, terutama bagi mereka yang merasa lebih nyaman berinteraksi dalam bahasa yang mereka kuasai dengan baik.
Penukaran uang Lebaran di pinggir jalan diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa penukaran uang harus dilakukan melalui lembaga yang memiliki izin resmi, seperti bank atau pihak yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia (BI). Oleh karena itu, siapa pun yang menyediakan jasa penukaran uang tanpa izin atau melakukan penukaran uang secara bebas dapat dianggap melakukan tindakan ilegal.
Namun, di balik kemudahannya, praktik ini menyimpan berbagai risiko yang seharusnya menjadi perhatian serius. Salah satu perhatian utama datang dari wisatawan yang berkunjung ke Padang,yang melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh larangan penukaran mata uang secara bebas di pinggir jalan tanpa pengawasan. Selain itu, praktik ini juga berisiko karena dapat melibatkan sistem riba serta membuka peluang bagi peredaran uang palsu.
Apakah pemerintah sebaiknya melegalkan dan mengatur praktik ini dengan sistem perizinan, atau justru harus melarang total dan menindak para pelaku usaha penukaran uang di jalan?(*)