Padang TIME | Tiga tahun lalu tepatnya tahun 2019, setelah melantiknya kami selaku pengurus pusat salah satu organisasi profesi Advokat di Jakarta mendampinginya hadir di
Pengadilan Tinggi Surabaya (PT.Sby) untuk ikut prosesi pengambilan Sumpah
Advokat bersama calon-calon advokat dari Organisasi Advokat (OA) lainnya.
Empat bulan kemudian di PT.Sby yg sama, oknum advokat tadi muncul lagi
mendampingi 20 orang calon Advokat baru versi OA dengan nama baru untuk
mengikutkan calon peserta yang baru Dia rekrut dari masyarakat. Dia dekati Saya
sembari sesumbar bilang “kedudukan kita sejajar Bang, sekarang Saya juga seorang
Presiden OA” mau mendampingi anggotaku yang mau diambil sumpahnya di sini.
Sambil geleng2 kepala muncul dua pertanyaan dari mulut Saya padanya, “berapa
biaya yang sampeyan kenakan pada mereka, dijawab rata-rata 20 juta” per orang
karena paketnya khusus Bang, katanya.
Saya tanya lagi dia, apakah masih ingat dengan pelajaran etika profesi di Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diajarkan tahun lalu, dan gimana tuh tanggung jawab moralmu terhadap advokat abal-abal yang baru kau produksi ini, jika nanti diantara mereka ada yang kelak “mala-praktik” di masyarakat ? Sambil nunduk dan balik badan dia berlalu di depan Saya menuju anak2 asuhannya yg mau disumpah itu.
Spontan Saya bergumam dan di benak muncul rasa penyesalan karena telah membesarkan “anak ular”. Tidak mau taat azas & kaidah-kaidah organisasi, aturan hukum, bahkan Nilai etika yg diajarkan pun sudah dilabraknya.
Begitu gampangnya mendapatkan “cuan” dengan
memanfaatkan peluang dari Surat Ketua MA-RI No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal
25 September 2015 tersebut yang intinya menyatakan bahwa Ketua Pengadilan
Tinggi (KPT) memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat
yang memenuhi syarat dari organisasi manapun. Bahkan PT dalam juklaknya
menegaskan bahwa OA yang badan hukumnya telah terdaftar di Kemenkumham RI
yang boleh mengajukan permohonan sumpah tersebut.
Seolah rekayasa multitafsir dari SKMA ini mereka jadikan peluang untuk
memproduksi anggota sebanyak-banyaknya seperti halnya rekrumen anggota pada
organisasi kemasyaratan guna menghimpun dan menunjukan kekuatan massa dari
para anggotanya, sekaligus mendapatkan banyak cuan sebagai peluang bisnis.
Padahal anggota yang mereka rekrut tersebut berada dalam ranah institusi
organisasi profesi yang lebih mengutamakan mutu & kualitas dan integritas
kepribadian para anggotanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada para
klien yang membutuhkan jasa mereka guna membela hak & kepentingan klien.
Halmana tidak akan terlepas dari keharusan memiliki tingginya wawasan & ilmu
pengetahuan hukum, keterampilan dan sikap tindak yang bijak & santun serta
2 rendah hati dan berani bersikap & bertindak jujur dengan prinsip kebenaran, teliti
dan kehati-hatian tanpa mudah terpengaruh rayuan keberpihakkan pada pihak
lawan. Apalagi personal Advokat tersebut juga masuk dalam kategori salah satu
unsur dari “catur wangsa” penegakkan hukum di Indonesia, yang punya wilayah kerja
di seluruh wilayah Republik Indonesai yang ditetapkan pasal 5 UU Advokat No. 18
tahun 2003.
OA dan Advokat :
Sebelum lahirnya UU Advokat No. 18 tahun 2003, rekrutmen pengacara praktek
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi setempat. Wilayah kerjanya hanya di wilayah
hukum PT yang bersangkutan saja. Untuk bisa berpraktek di seluruh wilayah
Indonesia, maka sang pengacara harus sudah berpengalaman menangani 10 kasus
hukum pidana dan 10 perkara perdata. Setelah itu baru bisa mengikuti ujian Advokat
Yang diselenggarakan PT yang sama, jika dinyatakan lulus serta sudah memenuhi
persyaratan akan diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman.
Setelah lahirnya UU Advokat No. 18 tahun 2003 rekrutmen Advokat dilakukan oleh
OA yang mengacu kepada UU profesi advokat tersebut. Historikal kewenangan
tersebut berawal dari pembicaraan FKAI (Forum Komunikasi Advokat Indonesia)
dengan ketua MA-RI Prof.Bagir Manan dan disetujui untuk melakukan ujian Advokat
secara bersama pada tahun 2002 setelah FKAI melebur menjadi KKAI. Akhirnya
konsep advokat dan mekanisme rekrumen advokat tersebut dimasukan dalam UU
Advokat tahun 2003.
Jadi Advokat merupakan produk dari OA. Eksistensi awal seorang advokat ditentukan
oleh OA yang melahirkannya. Jika OA berani menyimpangi aturan UU Advokat dan
menyalah-tafsirkan SKMA No. 73 serta menganggap surat tersebut sederajat dengan
UU atau dengan kata lain bisa menggantikan kedudukan UU Advokat, maka
muncullah musibah seperti yang terjadi saat ini. Dimana advokat begitu gampang
nya diproduksi secara instan oleh OA yang didirikan malah tanpa melalui prosedur
yang benar dan juga tidak mengacu kepada ketentuan pasal 28 UU Advokat,
melainkan mengacu kepada UU Ormas No. 17 tahun 2013. OA yang tumbuh
berjamur saat ini di seluruh Indonesia, yang mungkin layak dikatakan sebagai OA
rasa Ormas. Bersambung…..
bebi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini