Penguatan Regulasi Pajak Daerah melalui Keterlibatan dan Jejaring Pemangku Kepentingan

0
3020

Oleh: Fauzan Misra Dosen Akuntansi FEB Universitas Andalas

Padang TIME | Kemandirian daerah ditunjukkan oleh kemampuannya dalam memungut sumber-sumber pendapatan, termasuk pajak daerah. Kemampuan ini sangat tergantung kepada lingkungan perpajakan dimana pajak tersebut dipungut.

Meskipun demikian, bukti anekdotal dan temuan empiris (seperti Jia et al., 2018) menunjukkan bahwa lingkungan penegakan hukum pajak daerah masih relatif lemah, termasuk dalam proses penyusunan sampai implementasi kebijakan regulasi. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa reformasi kebijakan (policy reform) dan reformasi administrasi (administrative reform) menjadi sebuah keniscayaan.

Alemanno (2015) menegaskan bahwa salah satu poin kunci dalam keberhasilan kebijakan regulasi adalah terdapatnya pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders engagement) dalam perumusan, evaluasi dan penetapan kebijakan pemerintah.

Beberapa peneliti sebelumnya (seperti Mertha, 2005; Lo et al., 2009, Chen, 2012) telah mencoba mengkaji lebih mendetail tentang bagaimana penegakan hukum pajak-berbasis daerah (local-led regulation) diorganisasir, bagaimana ia berubah, dan apa saja yang memengaruhi perubahannya.

Beberapa penelitian lainnya berargumen bahwa masalah persisten yang ada di otoritas pajak daerah antara lain terbatasnya kapasitas penegakan hukum, khususnya kapasitas untuk melakukan pemeriksaan dan inspeksi secara memadai, dan otonomi penegakan hukum yang terbatas (seperti Manion, 2004; van Rooij, 2006; Cooney, 2007; Dimitrov, 2009).

Temuan-temuan tersebut menyiratkan bahwa manajemen strategik dalam perumusan, evaluasi dan penetapan regulasi pajak daerah menjadi hal yang krusial untuk dilakukan. Chen (2012) mengungkapkan bahwa studi-studi baik di manajemen maupun akuntansi/perpajakan telah secara umum mengabaikan aspek krusial dari manajemen kebijakan/regulasi publik mulai dari perumusan sampai dengan kebijakan/regulasi tersebut ditetapkan.

Oleh karena menjadi penting untuk mengetahui bagaimana pemerintah dan legislator sebagai fasilitator atau enforcer merumuskan, mengevaluasi, dan menetapkan kebijakan atau regulasi pajak daerah secara lebih mendalam.

Penulis dan tim melalukan riset pada dua kota (Padang dan Payakumbuh) yang belakangan ini telah berupaya mereformasi administrasi perpajakan mereka dengan memperbaiki kandungan dan proses regulasi pajak daerah. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi proses manajemen strategik selama perumusan sampai implementasi regulasi pajak daerah serta memetakan jejaring informasi serta peran para pemangku kepentingan internal pemerintah daerah.

Tipologi Pemangku Kepentingan

 Teori pemangku kepentingan telah menjadi sebuah teori yang mapan dalam literatur akuntansi dan manajemen. Studi-studi teori pemangku kepentingan berfokus kepada peran dari manajemen perusahaan dalam menarik dan mempertahankan pemangku kepentingan (seperti Jones, 1995 dan Turban dan Greening, 1996), upaya mengurangi eksposure regulasi (Patten, 2002), atau pencapaian kinerja sosial perusahaan (seperti Graves, 2005).

Chen (2012) dengan merangkum berbagai studi sebelumnya menyimpulkan bahwa “kebijakan publik, organisasi, komunitas, bahkan negara akan gagal” kecuali para pemangku kepentingan paling tidak pada titik tertentu harus terpuaskan. Freeman et al. (2010) mendefinisikan pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai kelompok atau individu yang dapat memengaruhi, atau terpengaruh oleh luaran strategik dari suatu organisasi atau institusi.

Beberapa studi menempatkan administrator kebijakan publik, seperti halnya manajamen dalam perusahaan, sebagai pusat dari roda sistem administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, administrator kebijakan publik adalah pemangku kepentingan dominan diantara pemangku kepentingan relevan lainnya dalam manajemen kebijakan publik. Dalam literatur, Mereka disebut sebagai fasilitator (Alemanno, 2015) atau enforcer (van Rooij, 2016).

Chen (2012) berargumen bahwa pemangku kepentingan dominan dapat memengaruhi keberterimaan dan keberlanjutan sebuah reformasi kebijakan publik melalui manajemen strategik dan penggunaan taktik yang mengiringinya. Oleh karenanya, ia menekankan bahwa administrator kebijakan harus secara aktif menggunakan taktiknya untuk mendapatkan keyakinan berjalannya regulasi yang ditetapkan dan diperolehnya dukungan dari pemangku kepentingan lainnya.

Teori pemangku kepentingan menyiratkan bahwa pada pemangku kepentingan memainkan peran yang sangat penting dalam pembentukan dan manajemen kebijakan perpajakan. Mitchell et al. (1997) merumuskan tipologi pemangku kepentingan ke dalam 3 (tiga) komponen kunci yakni kekuataan/kekuasaan (power), legitimasi, dan urgensi.

Pemangku kepentingan dari sisi fasilitator dapat menggunakan kekuasaan (power) yang dimiliki untuk memengaruhi pembentukan dan manajemen pajak daerah. Kekuasaan (power) berfokus kepada sumber dan bagaimana menggunakan kekuasaan tersebut dalam mempersuasi pemangku kepentingan lainnya.

Legitimasi ditunjukkan oleh legalitas, justifikasi dan keberterimaan (consent). Sementara urgensi berkenaan dengan penekanan pada pentingnya suatu regulasi dalam memperkuat aspek formil dan materil regulasi dan kebijakan pajak daerah.

 

Penguatan Regulasi Pajak di Kota Padang dan Payakumbuh

Kota Padang telah berupaya untuk memperkuat lingkungan pajak daerahnya melalui berbagai upaya seperti penguatan sistem regulasi dan penggunaan teknologi informasi. Dari aspek penguatan regulasi, Kota Padang telah merumuskan regulasi pajak daerah melalui penguatan aspek administrasi dan penegakan hukum.

Penguatan aspek ini salah satunya dilakukan melalui penetapan Peraturan Daerah tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Penagihan Pajak Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018. Penyusunan Perda ini tidak lepas dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Daerah. Perda ini melengkapi perda materil yang telah ada sebelummnya.

Perda ini telah memuat kandungan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) yang dianggap penting dan strategis dalam penguatan upaya penagihan pajak. Pengaturan ini kemudian telah diperkuat dengan pelantikan juru sita dan pemeriksa pajak daerah.

            Tidak jauh berbeda dengan Kota Padang, mulai tahun 2019 Kota Payakumbuh juga telah melakukan upaya pembenahan sistem perpajakan daerahnya. Pada tahun 2019 telah mulai disusun Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Penagihan Pajak Daerah (KUPD), kemudian pada tahun 2020 telah pula disusun Naskah Akademik yang disertai dengan Perubahan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah. Dalam perubahan Perda Pajak Daerah, selain memperkuat muatan perda, juga dilakukan proses penyederhaan peraturan dengan menggabungkan perda-perda pajak daerah sebelumya ke dalam 1 (satu) perda.

Ranperda tentang KUPD dan Pajak Daerah ini telah mendapatkan pengesahan dari DPRD pada bulan Oktober 2021. Sebagai tindaklanjut, Pemko Payakumbuh akan melengkapinya dengan Peraturan Walikota yang akan mengatur berbagai aspek pajak daerah, baik yang berasal dari amanat peraturan daerah maupun pengaturan SOP yang dianggap layak diketahui publik, seperti pendaftaran, pembayaran, pelaporan, dan pengajuan langkah-langkah hukum seperti keberatan dan banding.

Meskipun sudah mulai dirasa cukup kuat, dinamika pengaturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentag Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah yang cukup signifikan mengubah pengaturan pajak daerah juga telah direspon oleh kedua daerah.

Saat ini kedua daerah tersebut juga dalam upaya perevisian regulasi pajak daerah yang harus dikombinasikan dengan retribusi daerah melalui Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022.

 

Temuan dan Implikasi Penting

Hasil studi menunjukkan terdapat beberapa sumber power dari enforcer yakni pemahaman konseptual muatan regulasi dan pemahaman mendalam tentang situasi lapangan existing, dukungan berbagai pihak dan jejaring komunikasi dan informasi, dukungan atasan, dan regulasi pendukung lainnya dalam eksekusi regulasi.

Kekuatan ini didesiminasi melalui perumusan sampai pengimlementasian regulasi yang ketat dan kokoh, kandungan pengaturan yang adaptif, inovatif, dan implementatif, serta melalui restrukturisasi organisasi. Hasil studi juga mengungkapkan bahwa kekuasaan dirasakan lebih kuat setelah adanya restrukturisasi organisasi pengelola pajak daerah menjadi badan tersendiri (kondisi di Kota Padang).

Dengan menjadi badan yang independen dari tugas pengelolaan keuangan daerah lainnya, struktur jabatan dalam SOTK pemerintahan yang lebih tinggi memberikan posisi tawar dalam rapat dan pertemuan yang lebih baik pula. Hal ini penting karena berkaitan dengan dukungan kebijakan maupun anggaran dari kepala daerah. Kondisi ini juga dinilai mampu peningkatan soliditas dan koordinasi. Tantang berbeda dirasakan ketiga pengelola pajak daerah melalui Bidang, bahkan Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD).

Dengan struktur sebagai UPTD, posisi tawar, Batasan anggaran, rentang kekuasaan dan keputusan, masih dirasakan sangat terbatas. Hal ini ditambah lagi dengan keharusan berkoordinasi secara baik dengan bidang lain, terutama bidang pendapatan. Dalam kondisi tertentu, potensi tumpang tindih pekerjaan masih dapat terjadi.

Temuan ini menyiratkan bahwa pengelolaan pajak daerah melalui SKPD mandiri (misalnya Bapenda) mampu mendorong kinerja dan penegakan hukum pajak daerah yang lebih baik dan powerful.

Hal yang menarik adalah, figur kepala daerah belum dianggap sebagai salah satu faktor penting yang mampu mendorong kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Temuan ini berbeda dengan studi Chen (2012) yang menunjukkan peran figure walikota dalam implementasi London Congestion Charge (LCC) di Kota London.

Legitimasi diperoleh melalui penekanan aspek legal, justifikasi, dan penerimaan masyarakat. Urgensi pengaturan cerapan diciptakan melalui earmarking, pemenuhan tuntutan regulasi, dan kebermanfaatan pajak bagi masyarakat umum. Justifikasi juga diperoleh dari penekanan pada pengaturan hal-hal yang menjadi masalah spesifik daerah sehingga regulasi yang ditetapkan mampu menjawab masalah-masalah yang sebelumnya dipertanyakan.

Penekanan pada importance pengaturan tersebut mendatangkan keyakinan bahwa regulasi yang dibuat juga akan mampu mendorong respon positif dari masyarakat/ wajib pajak. Salah satu contoh konkretnya adalah pemuatan aturan tentang ketegasan pencantuman Dasar Pengenaan Pajak yang terpisah dengan Pajak Terutang pada bill atau dokumen penagihan pembayaran lainnya untuk pajak hotel.

Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat wajib pajak bahwa ada bagian hak pemerintah daerah yang dinyatakan secara eksplisit di dalam dokumen yang diterbitkan wajib pajak. Pengaturan seperti itu juga diharapkan akan memberikan efek psikologis kepada wajib pajak daerah.

Komunikasi dan aliran informasi secara umum berasal dari inisiatif SKPD teknis pengelola pajak daerah. Komunikasi dilakukan secara formal dan informal. Komunikasi formal dilakukan melalui rapat-rapat koordinasi dan pembahasan regulasi, sementara komunikasi informasi dilakukan melalui diskusi dan konsultasi untuk isu-isu yang tidak terlalu substansial akan tetapi perlu dipahami bersama, misalnya tentang penetapan dan perumusan landasan penyusunan regulasi dalam naskah Rancangan Peraturan Daerah yang dilakukan.

Komunasi yang baik ini menghasilkan kondisi yang menunjukkan tidak banyak perbedaan pendapat yang mencolok selama proses pembuatan regulasi dan kebijakan karena tujuan semua pihak sudah sama. Para pemangku kepentingan sebagai enforcer terlibat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tusi) mereka masing-masing. Pemrakarsa regulasi atau perubahannya berada pada SKPD teknis, sementara lainnya adalah supporting dalam peran pembinaan dan pengawasan.

Hasil ini menyiratkan bahwa perumusan, evaluasi, dan pengimplementasian regulasi yang subtantif melalui proses yang akuntabel adalah sumber kekuatan yang dapat dimanfaatkan enforcer untuk peningkatan law enforcement di daerah. Diharapkan proses penguatan pengelolaan pajak daerah dari hulu sampai hilir (dari perumusan sampai pengesahan dan implementasi regulasi) akan mendorong peningkatan keefektifan pemungutan pajak daerah.

Kesadaran bahwa penguatan lingkungan akan tercapai melalui peran dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam jejaring komunikasi dan informasi seharusnya semakin disadari oleh enforcer pajak pada pemerintahan daerah. Berikutnya, lingkungan yang kuat akan mendukung kesuksesan berbagai inovasi daerah dalam pengelolaan pajak daerah nantinya. (mp)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini