Prof. Dra. Yetti Zainil, MA., Ph.D.
Departemen: Bahasa dan Sastra Inggris
Bidang Ilmu: Teaching of English as a Foreign Language
Tanggal 6 April 2023 di Auditorium UNP Padang
Hadirin yang saya hormati Dalam beberapa dekade terakhir, pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia mengalami banyak kemajuan dalam meningkatkan empat keterampilan dasar berbahasa Inggris—listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), dan writing (menulis).
Namun, keempat keterampilan ini belum dikembangkan pada tingkat yang sama. Li (2003) dan Anh, Thinh, Nga  (2022) mengemukakan bahwa speaking (ketrampilan berbicara) tetap merupakan keterampilan yang paling sulit dikuasai untuk sebagian besar pembelajar bahasa Inggris. Mereka masih belum mampu berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Inggris meskipun mereka mungkin bisa membaca novel-novel yang ditulis dalam bahasa Inggris setelah bertahun-tahun belajar bahasa Inggris di sekolah.
Apa yang menyebabkan ketidakmampuan ini? Faktor apa yang mungkin sangat mempengaruhi kita, orang Indonesia, khususnya Padang, Sumatra Barat, dalam konteks belajar bahasa Inggris  sebagai bahasa asing (TEFL)? Pertanyaan seperti ini yang telah menarik minat saya dan mendorong saya untuk memilih topik ini dan kemudian melakukan riset-riset untuk mencari jawabannya.
Untuk mendiskusikan lebih jauh isu-isu ini, pada kesempatan yang terhormat ini, perkenankanlah saya menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teaching of English as a Foreign Language.  Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati saya akan menyampaikan pidato dengan judul:
 “Language Input and Code-Switching in the Teaching of English as a Foreign Language: A Stimulated Recall and Conversation Analysis” 
Ini bermula dari ketertarikan saya melihat dan memperhatikan beberapa orang Bali yang saya temui di Melbourne, Australia kira-kira 25 tahun yang lalu, sewaktu saya menyelesaikan kuliah Master of degree di LaTrobe University.
Pada saat itu, pembimbing saya sedang melakukan penelitian tentang bahasa isyarat. Tim peneliti mendatangkan beberapa orang Bali yang berasal dari sebuah desa di Buleleng, Bali bernama Desa Bengkala. Desa ini memiliki keunikan lewat komunitas KOLOK (bisu dan tuli) dimana warganya tuna rungu dan tuna wicara. Masyarakat kolok berkomunikasi menggunakan Bahasa Isyarat satu sama lain. Uniknya, bahasa isyarat mereka berbeda dari bahasa isyarat di komunitas lain, dan ini yang membawa tim peneliti Australia untuk mempelajarinya.
Komunitas KOLOK di Bali
Desa Bengkala berada di Kabupaten Buleleng, Bali dan berjarak 15,6 kilometer dari pusat Kota Singaraja dan 100 kilometer dari Kota Denpasar. Desa KOLOK di Bali tersebut sebagian besar warganya bisu dan tuli (Kusuma, 2023). Sebagai mana kita ketahui, secara umum salah satu penyebab bisu adalah tuli. Tetapi apakah semua orang bisu di Desa KOLOK tersebut tuli? Hasil penelitian terhadap warga desa ternyata tidak semua warga yang bisu tersebut, tuli atau tidak mendengar. Kalau begitu kenapa mereka bisu dan hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat? Penelusuran lebih lanjut, menunjukkan bahwa Desa Kolok sebelumnya adalah desa yang dikucilkan. Warga desa tidak berbaur dengan masyarakat sekitarnya akibat mitos kutukan masa lalu.
Legenda dimulai dari sepasang suami istri yang bisu dan tuli yang di buang secara adat. Suami istri ini kemudian mempunyai anak-anak yang kemudian membentuk kelompok yang dari waktu ke waktu bertambah jumlah anggotanya akan tetapi mereka hanya hidup dan berkomnikasi dengan orang-orang dalam lingkungan mereka saja.  Tidak ada komunikasi  verbal di desa tersebut, mereka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Dan inilah sejarahnya kenapa desa tersebut diberi nama Desa Kolok, yang dalam bahasa Balinya desa SUNYI.
Desa Bengkala sering menjadi lokasi penelitian termasuk mengungkap keberadaan warga kolok di desa tersebut. Secara ilmiah, terdapat adanya gen resesif DFNB3 yang membuat 1 dari 50 bayi mengalami kondisi bisu dan tuli (Dhania, 2021). Namun warga setempat masih percaya bahwa kondisi warga kolok diakibatkan adanya kutukan masa lalu yang belum hilang. Kutukan tersebut akan hilang jika warga kolok sudah tidak berada di desa tersebut.
B.     Pembahasan
Language Input, Language Output dan Interaction dalam Pembelajaran Bahasa
Apa yang mungkin terjadi pada komunitas KOLOK dilihat dari perspektif pembelajaran bahasa adalah ketiadaan ‘language input’ verbal yang tersedia bagi warga desa yang memungkinkan warga berkomunikasi secara verbal.  Sepasang suami istri yang bisu dan tuli tadi mewariskan alat komunikasi berupa bahasa isyarat bukan bahasa verbal karena ketidak mampuan mereka untuk berkomunikasi secara verbal. Keturunan mereka tidak mendengarkan bahasa verbal di lingkungan mereka sebagai ‘language input” tapi bahasa isyarat sebagai ‘language input’, karena mereka dikucilkan.  Yang ada adalah ‘language input’ dalam bentuk bahasa isyarat dan bukan ‘language input’ dalam bentuk bahasa verbal.  Konteks inilah yang memungkinkan desa KOLOK menjadi desa sunyi, tanpa suara, yang dipakai untuk berkomunikasi secara verbal.
Kesamaan dalam proses penguasaan bahasa pertama/bahasa kedua dengan pemerolehan bahasa asing sebagai bahasa target (TL) belum diketahui secara pasti.  Namun, banyak ahli-ahli bahasa dan pembelajar bahasa mengandalkan cara yang sama seperti untuk penguasaan bahasa pertama (L1)/ bahasa kedua (SL); input lisan sebagai sumber utama bahasa target (TL) (Al-Zoubi, 2018; Krashen 1982; Morata & Coule, 2012).
Dalam konteks pembelajaran bahasa Ingris sebagai bahasa asing (Teaching of English as a Foreign Language), “teacher talk”, bahasa yang dipakai guru di dalam kelas berfungsi sebagai ‘language input’. ‘Language Input’ penting untuk proses pemerolehan bahasa (Wirza &  Sholihah (2020) dan menggunakan bahasa target atau bahasa yang dipelajari tersebut secara aktif oleh siswa (‘language output’) juga menjadi bagian integral dari proses pemerolehan bahasa (Swain, 2005). Ada perdebatan menarik di ranah Second Language Acquisition tentang peran ‘language input’ ini. Terlepas dari perdebatan tersebut, riset-riset tentang pembelajaran bahasa asing (TEFL) dan bahasa kedua (TESL) saat ini menyepakati bahwa bahasa yang digunakan guru sebagai sumber ‘language input’ (Ellis, 1985; Erk & Takač, 2021;  Long, 1980; Littlewood & Yu, 2011).
Namun, Ellis (1994), Long (1980, 2020), Swain (2005) berpendapat bahwa meskipun ‘language input’ sangat penting untuk pemerolehan bahasa, ‘language input’ saja tidak cukup; diperlukan ‘interaction’ agar pemerolehan bahasa berhasil (‘languge output’). Interaksi penting karena pembelajar dapat meningkatkan bahasa mereka melalui interaksi saat mereka mendengarkan guru mereka, dan kemudian mereka dapat menggunakan semua yang telah mereka pelajari untuk berkomunikasi.
Swain (2005) menyatakan bahwa pembelajar perlu diberi kesempatan untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Sewaktu pembelajar berlatih berbicara si pembelajar dituntut untuk memperhatikan aspek-aspek linguistik dan budaya yang nantinya membantu mereka untuk berkomunikasi secara efektif dalam bahasa target yang mereka pelajari. Memaksimalkan ‘language input’ dan ‘language output’ yang dapat dipahami serta interaksi adalah hal yang penting dalam pembelajaran bahasa. Kegiatan semacam ini dapat mendorong perkembangan bahasa mereka untuk menghasilkan ‘language output’ yang dapat dipahami (Swain, 2005).
Dalam pidato pengukuhan ini saya akan fokus pada ‘language input’ dan ini tidak berarti saya mengenyampingkan pentingnya ‘language output’dan ‘interaction’.
Input-Output Interplay in EFL classrooms
Tidak diragukan lagi bahwa penggunaan bahasa target dalam hal ini bahasa Inggris di dalam kelas bahasa Inggris merupakan hal yang penting dalam konteks dimana pembelajar memiliki kesempatan yang tidak banyak untuk mendengar dan menggunakan bahasa target di dalam dan di luar kelas (Musumeci, 1996; Taşçı & Ataç, 2020).
Memaksimalkan penggunaan bahasa target (‘language input’) adalah penting untuk penguasaan. Konsekuensinya, guru harus memperhatikan dan memaksimalkan penggunaan bahasa yang mereka gunakan di kelas, karena bahasa yang mereka gunakan berfungsi sebagai ‘language input’ dan dapat berfungsi untuk memunculkan ‘language output’ siswa.
Krashen, dengan teori Input Hypothesisnya (1985), menyebutkan bahwa pembelajar akan menguasai bahasa target jika ada cukup ‘language input’ yang dapat dipahami si pembelajar (Comprehensible input). Comprehensible input adalah bahasa target yang tingkat kesulitannya sedikit di atas kemampuan siswa (Krashen, 1982).
Lebih lanjut Krashen mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara tidak akan berkembang melalui pengajaran langsung; sebaliknya, pemaparan ‘language input’ yang cukup membantu mengembangkan keterampilan berbicara (Krashen, 1985; Lichtman, K., & Vanpatten, 2021a). Krashen (2003) mendefinisikan ‘input’ yang dapat dipahami sebagai bahasa yang ditujukan kepada pembelajar yang mengandung beberapa elemen baru di dalamnya, tetapi hal ini tetap dapat dipahami oleh pembelajar karena adanya ‘background knowledge’ siswa tentang linguistik, paralinguistik, atau situasi bahasa yang sedang di pelajarinya.
Sejalan dengan Krashen (1982, 1985), Wong-Fillmore (1982) mendukung gagasan bahwa siswa belajar berbicara dengan mendengarkan, seperti seorang anak belajar bahasa ibunya dengan mendengarkan pembicaraan di lingkungannya. Seorang anak memperoleh bahasa ibunya (L1) melalui paparan dan interaksi dengan ‘language input’ yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Krashen (1982), adalah mungkin bagi pembelajar bahasa untuk memperoleh bahasa tanpa berlatih berbicara, yang penting adalah input (‘language input’). Namun, Krashen (1982) dikritik karena teorinya ini belum terbukti kebenarannya dalam pembelajaran bahasa asing. Akan tetapi, setelah 40 tahun berlalu, teori-teori yang diungkapkan oleh Krashen (1982, 1983, 1994) terbukti kebenarannya (Lichtman & Vanpatten, 2021a, 2021b) dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Riset–riset terbaru memperlihatkan bahwa ‘teacher talk’  sebagai ‘language input’ mempengaruhi  kompetensi bahasa pembelajar (Caukill, 2015; Erk & Takač, 2021; Inbar-Lourie, 2010; Krashen, 1982, 2003; Long, 1980;  Wirza &  Sholihah, 2020; Zainil, 2013, 2017; Zainil & Arsyad, 2021). Di dalam kelas bahasa, peran utama guru adalah memberikan ‘language input’ yang cukup kepada siswa dengan mendengarkan bahasa target dalam jumlah yang cukup, terutama melalui Teacher Talk  (Ellis, 1994; Littlewood & Yu, 2011; Musumeci, 1996).
Banyak pakar pembelajaran bahasa setuju dengan gagasan ini bahwa guru harus memberikan input bahasa target sebanyak mungkin kepada siswa agar siswa yang mempelaari bahasa dapat menggunakan bahasa yang mereka pelajari tersebut (lihat Ahmadi & Panahadeh, 2016; Ellis, 1994; Krashen, 1982; Littlewood & Yu, 2011; Yeung, 2020).
Littlewood (2007), memastikan bahwa di dalam kelas bahasa sebagai bahasa asing perlu penggunaan – language for ‘real life’ classroom communication in the form of modified and simplified language input (Krashen, 1985; Long, 2020; Meng & Wang, 2011). Siswa akan termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya jika guru mereka menggunakan bahasa yang mereka pelajari tersebut (Satchwell, 1999).
What really matters is to show the students, English is a language for genuine communication  and functions as this in the classroom as well (Sifakis & Sougari, 2005)
Dalam kontek Teaching of English as  a Foreign Language seperti Indonesia,  Sumatra Barat khususnya, kelas bahasa Inggris kita di kategorikan sebagai kelas besar (large classes), dengan jumlah waktu yang sedikit bagi siswa untk mendengarkan bahasa target, yaitu bahasa Inggris (Zainil, 2017). Oleh sebab itu guru harus menggunakan bahasa Inggris untuk motivasi dan tantangan untuk belajar (Long, M. (2020); MacDonald, 1993 cited in Turnbull, 2001: 252).  Dengan cara ini, siswa akan dapat melihat langsung penggunaan bahasa yang mereka pelajari tidak hanya mendengar penjelasan guru tentang tentang manfaat berlatih bahasa Inggris (Turnbull & Arnett, 2002). Memaksimalkan penggunaan bahasa target di dalam kelas akan sangat membantu siswa dalam menguasai bahasa asing yang dipelajarinya.
English language teaching in Indonesia
Kompetensi komunikatif merupakan salah satu tujuan utama dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia karena kebutuhan penggunaan bahasa Inggris di banyak bidang kehidupan profesional dan personal di Indonesia. Selain itu, Indonesia dikelilingi oleh beragam budaya dan bahasa di Asia dan Australia. Untuk alasan ini, bahasa Inggris digunakan sebagai alat komunikasi melintasi batas budaya dan bahasa, seperti dalam perdagangan komersial, belajar, urusan luar negeri, dll.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, Sumatra Barat khususnya, siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas hanya belajar bahasa Inggris di kelas bahasa Inggris satu atau dua pertemuan dalam satu minggu (Depdiknas, 2013). Guru dan siswa sama-sama mampu menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Aktifitas riset yang saya lakukan dalam rentang waktu 2013- 2019 menemukan bahwa guru-guru bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah cendrung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Minang (61,32%)  dibanding penggunaan bahasa Inggris (38,68%) dalam interaksi kelas bahasa Inggris (Zainil, 2013, 2017, 2019, Zainil & Arsyad 2021). Ini menunjukkan bahwa guru yang diobservasi menggunakan lebih banyak bahasa Minang dan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan siswa mereka di dalam kelas.  Temuan ini sejalan dengan temuan riset yang dilakukan oleh Duff & Polio (1994). (Zacharias, 2011), salah  satunya adalah L1/L2 digunakan untuk menjelaskan aturan tata bahasa Inggris kepada siswa.
Berikut salah satu contoh ekstrak ‘classroom’s discourse’ dari kelas yang di amati.
Extract . Teacher’s C extract of classroom discourse
SPEAKER
UTTERANCE (S)
T
Kemaren   skillnya berbicara menggunakan “who” [Yesterday]                        [speaking] [using]
S
“Who”
T
Ya, “who” sekarang kita berbicara tentang
[Yes]    [now]  [we] [talk]        [about]
skill menulis, jadi nanti,  disamping anak mam
      [writing]  [so] [later] [beside] [child]
bisa mengungkapkannya dalam berbicara,
[able] [to say]      [it] [in] [speaking]
anak mam juga bisa menggunakannya dalam menulis.
[Child]    [also] [able] [to use] [it]     [in] [writing]
((the teacher writes “asking and giving information” on the whiteboard))
ok, jadi kita semua sudah belajar,
      [so] [we] [all] [already] [learned]
“asking and giving information.”
T
menggunakan, apa nak?by using apa kita gunakan kemaren?
[to use]       [what] [child]              [what] [we] [use] [yesterday?] menggunakan apa anak anak?
  [to use]          [what]  [kids?]
((the teacher writes “asking and giving information” on the whiteboard))
S
where, when, who, what,
T
where, when, who, what,
((the teacher repeats the student while writing on the board))
ya, sekarang kita liat lagi kalau what
[yes], [now] [we] [see] [again] [if]
kita gunakan untuk apa?
[we] [use]    [for] [what?]
S
What, apa
[what]
T
ya, menanyakan tentang apa?
[yes], [ask]       [about] [what?]
ya, something, what is used untuk
 [yes,]                                   [for]
menanyakan tentang apa,
[ask]             [about] [what],
kemudian, when, yang ini ask about something
[then]                 [this][one]
((the teacher writes “ask about something on the whiteboard)),
kemudian when, when kita gunakan untuk apa?
[then]                        [we] [use]              [for] [what?]
Ekstrak di atas memperlihatkan bahwa siswa dalam kelas bahasa Inggris belum mendapat input bahasa (language input) yang cukup. Ellis (2005: 10) menekankan bahwa “everything the teacher does or says in the classroom provides an opportunity for learning the new language, and the use of L1 deprives students from valuable opportunities to use, communicate, and process in the target language”.   Penggunaan bahasa Ibu dan bahasa kedua mungkin memfasilitasi pemahaman pembelajar, tetapi akan menghambat kemajuan mereka dalam berkomunikasi dalam bahasa target (Meng & Wang, 2011; An Gian, 2022) terutama dalam konteks pembelajaran TEFL di mana hanya sedikit kesempatan untuk mendengarkan dan menggunakan bahasa target (Musumeci, 1996).
Namun Lo (2015) dan Raschka, Sercombe, & Chi-Ling, (2009) melalui aktifitas  riset mereka menemukan bahwa tidak mudah bagi guru untuk menghindari pemakaian bahasa ibu dan bahasa kedua dalam interaksi dalam kelas, terutama dalam konteks dimana siswa dan guru dapat menggunakan bahasa yang sama. Ini mengarah pada kemungkinan alih kode (code switching) oleh guru dan siswa dalam interaksi kelas. Aktifitas riset saya berikutnya yang kemudian dipublikasikan dijurnal international mengeksplorasi pemahaman guru tentang bagaimana, kapan, dan mengapa mereka beralih kode di kelas EFL. Pemahaman yang lebih jelas tentang code switching dalam pengajaran EFL merupakan inovasi penting pada kurikulum pengajaran bahasa asing dalam konteks Indonesia, Sumatra Barat khususnya.
Code switching in EFL classroom
‘Code switching’ (Alih kode) dan ‘translanguaging’ (penerjemahan) sering terjadi antara guru dan pembelajar dalam konteks pembelajaran bahasa asing di mana guru dan siswa sama-sama mampu menggunakan bahasa ibu dan bahasa kedua (Abdulhady & Al-Darraji, 2019; Al Tale’ & AlQahtani, 2022; Canagarajah, 1995; Cook, 2001; Lo (2015); Raschka et al. (2009); Turnbull & Arnett, 2002). Di dalam kelas EFL, penggunaan bahasa ibu (L1) berpotensi menjadi kekuatan atau kelemahan. Studi oleh Bhatti et al. (2018); de Sanchez (2018), Hamamra dan Qararia (2018); dan Simasiku et al. (2015) menemukan manfaat ‘code switching’ dalam kelas bahasa. Bhatti et al., misalnya, menemukan bahwa alih kode dari bahasa Inggris (TL) ke bahasa pertama (L1) adalah strategi yang berguna dalam bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk membantu interaksi antara guru dan siswa dan antar siswa di kelas.
Alhourani (2018) menemukan bahwa siswa bahasa Arab melakukan alih kode dari bahasa Inggris ke bahasa Arab untuk empat tujuan berbeda: mengutip ide orang lain, menyombongkan diri, mengalihkan topik pembicaraan dalam percakapan, dan mengekspresikan pendapat mereka. Caukill (2015) dan Mahdi & Almalki (2022) menyebutkan bahwa guru melakukan ‘code switching’ untuk tujuan pedagogis dan sosial, tetapi pertanyaannya adalah apakah guru sepenuhnya memahami alasan dan menyadari kapan mereka melakukan ‘code switching’.
Zainil & Arsyad (2021) menggunakan Conversation Analysis dan Stimulated Recal Interview  mengeksplorasi dan mendeskripsikan pemahaman guru bahasa Inggris tentang fungsi dan alasan code switching (alih kode) mereka di dalam kelas. Guru beralih ke bahasa Indonesia untuk menjelaskan beberapa poin tata bahasa dan menjelaskan kata baru yang sulit. Mereka juga sepakat bahwa siswa perlu terpapar bahasa target (language input) secara signifikan. Guru  mendukung memaksimalkan penggunaan bahasa target di dalam interaksi kelas. Ketika guru diminta untuk memberikan pendapat mereka tentang proporsi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang ideal untuk digunakan dalam wacana kelas, secara umum guru mengusulkan persentase tertentu, yaitu 70% Bahasa Inggris dan 30% Bahasa Indonesia (Zainil & Arsyad, 2021), yang lebih kurang sama dengan yang di ungkpkan Cook (2001).
Akan tetapi hasil analisa data dari stimulated recall interview memperlihatkan hal yang berbeda dari hasil analisa data rekaman video interaksi di kelas dengan menggunakan conversation analysis. Terlihat ketidak sesuaian praktik guru atau observasi di kelas dengan hasil interview dengan mereka. Berikut perbandingan penggunaan Bahasa Indonesia, Bahasa Minang dan Bahasa Inggris hasil analisa data dari  rekaman video guru mengaar di kelas.
Secara umum mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris (Zainil & Irsyad 2021). Menggunakan bahasa pertama (L1 dan L2) secara hati-hati dan sistimatis dapat membantu siswa dalam belajar bahasa asing (Ataş & Sağın-Şimşek,2021; Üstünel & Seedhouse, 2005).
Penggunaan Bahasa Indonesia dapat memfasilitasi pemahaman siswa, tetapi mereka kurang terpapar dengan bahasa target (TL), terutama dalam konteks pembelajaran EFL di mana kesempatan untuk mendengarkan dan menggunakan (TL) terbatas (Musumeci, 1996). Penggunaan L1/L2 bisa jadi juga merupakan kelemahan karena dapat membatasi serapan bahasa target secara potensial jika digunakan secara berlebihan. Penggunaan L1 yang berlebihan tidak akan membantu siswa mencapai tujuan belajar bahasa asing mereka (Almohaimeed & Almurshed, 2018).
Cook (2001) tidak hanya menyarankan penggunaan L1 harus diminimalkan tetapi juga berpendapat bahwa bahasa target harus lebih banyak digunakan di dalam kelas sebagai alat komunikasi. Dia menyatakan bahwa penggunaan L1 secara sistematis dan terencana di kelas bahasa kedua hanya untuk tujuan pedagogis tertentu (Brevik & Rindal, 2020; Cook, 2001). Polio dan Duff (1994), Littlewood dan Yu (2011), and Rondon-Pari (2014) mengklaim bahwa penggunaan bahasa target yang cukup di kelas EFL berkorelasi secara signifikan menghasilkan  output bahasa siswa yang tinggi (language output).
Stimulated reall interview (SRI) digunakan untuk melihat persepsi guru dan kesesuaian dengan observasi kelas (misal, Bensen & Çavuşoǧlu, 2013).  SRI belum banyak digunakan dalam konteks penelitian TEFL, terutama dalam konteks TEFL Indonesia  (Cahyani et al., 2018). Stimulated recall interview dipergunakan untuk melihat alasan dan kapan guru melakukan code switching.
Setelah menonton rekaman video pengajarannya masing-masing, para guru mengomentari penggunaan L1 dan TL dalam pengajaran mereka. Penggunaan SRI adalah contoh refleksi diri oleh guru bahwa menonton video merupakan stimulus yang signifikan yang memungkinkan guru untuk melihat pengajaran mereka secara objektif. Rosaen et al. (2008) menyebutkan, reaksi mereka setelah menonton rekaman video menunjukkan bahwa itu adalah media yang ampuh dalam mengungkapkan aspek pengajaran mereka, yang sebelumnya tidak mereka pertimbangkan.
Guru mungkin menyadari beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi pilihan bahasa mereka secara umum sebagaimana dianalisa dengan menggunakan data dari transkrip video rekaman dan transkrip SRI. Namun, para guru berkomentar sendiri bahwa mereka tidak mengetahui faktor-faktor lain sampai mereka menonton video pengajaran mereka. Pengalaman menonton interaksi mereka dengan siswa di dalam kelas tampaknya memberikan pengalaman belajar  seputar code switching di kelas dan mengarah pada temuan yang mungkin berimplikasi pada pendidikan guru bahasa.
Di akhir SRI, para guru yang terlibat dalam riset baru menyadari kapan dan seberapa banyak mereka ber alih kode yang ternyata bertolak belakang dengan saran mereka tentang penggunaan bahasa target di dalam kelas.  Secara umum, ditemukan bahwa guru secara sadar beralih ke bahasa Indonesia untuk menjelaskan tata bahasa dan menjelaskan kata baru yang sulit. Guru tidak sepenuhnya menyadari seberapa banyak menggunakan L1/L2 di dalam kelas dan kenapa mereka melakukan ‘code switching’ (Zainil & Arsyad, 2021). Dengan berlebihan nya guru menggunakan L1/L2 berakibat kurangnya paparan bahasa target atau bahasa Inggris kepada siswa mereka. Selain itu, para guru menyatakan bahwa tidak ada pedoman yang jelas tentang kuantitas penggunaan L1 di kelas; rekomendasi kurikulum hanya untuk mengekspos siswa ke bahasa target (Zainil & Arsyad, 2021).
Merujuk kembali ke paparan di awal tadi tentang desa KOLOK di Bali tersebut, bahwa komunitas kolok hanya terpapar dengan bahasa isyarat sebagai ‘language input’ sehingga bahasa yang mereka kuasai adalah bahasa isyarat.  Apa yang terjadi di dalam kelas bahasa Inggris kita, khususnya di Kota Padang lebih kurang sama dengan apa yang terjadi dikomunitas KOLOK tersebut; adalah kurangnya ‘language input’ yang akan membantu siswa untuk menghasilkan ‘language output’. Kurangnya siswa mendengar bahasa Inggris sebagai bahasa target tentu akan mempengaruhi pemerolehan ketrampilan berbicara bahasa Inggris siswa.
Sehubungan dengan hal ini, perlu kita perhatikan bahwa Baker (2011) melaporkan temuannya tentang program pembelajaran bahasa Inggris untuk imigran di California dimana Bahasa Inggris di pakai dalam masyarakat, bahwa dibutuhkan waktu tiga hingga lima tahun untuk mengembangkan kecakapan lisan (mendengarkan dan berbicara dalam bahasa Inggris). Temuan ini memperkuat argumentasi bahwa siswa dalam konteks EFL, seperti Indonesia, akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menguasai keterampilan berbicara dasar karena kurangnya pemaparan input bahasa target (language input) oleh guru. Implikasi dari temuan Baker (2011) adalah bahwa kebijakan pemerintah Indonesia untuk memulai bahasa Inggris di sekolah menengah (kelas 7) akan menyebabkan kurangnya paparan dan memperlambat  pengembangan kompetensi berbicara bahasa Inggris siswa.
Hal yang dapat kita lakukan adalah dengan memaksimalkan paparan ‘language input’ di kelas bahasa Inggris  yaitu dengan mendorong guru bahasa Inggris untuk memaksimalkan penggunaan bahasa target yakni bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengan siswa mereka. Untuk itu LPTK-LPTK yang mempersiapkan guru-guru bahasa Inggris harus berusaha semaksimal mungkin memfasiliatasi guru-guru bahasa Inggris yang akan berkiprah di kelas bahasa Inggris untuk mampu berkomunikasi efektif dengan menggunakan bahasa Inggris sehingga mereka-mereka akan termotivasi untuk menyediakan ‘language input’ yang cukup bagi siswa-siswa mereka.
(PT)
bebi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini