Prof. Dra. Yetti Zainil, MA., Ph.D.
Departemen: Bahasa dan Sastra Inggris
Bidang Ilmu: Teaching of English as a Foreign Language
Tanggal 6 April 2023 di Auditorium UNP Padang
Hadirin yang saya hormati Dalam beberapa dekade terakhir, pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia mengalami banyak kemajuan dalam meningkatkan empat keterampilan dasar berbahasa Inggris—listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), dan writing (menulis).
Namun, keempat keterampilan ini belum dikembangkan pada tingkat yang sama. Li (2003) dan Anh, Thinh, Nga (2022) mengemukakan bahwa speaking (ketrampilan berbicara) tetap merupakan keterampilan yang paling sulit dikuasai untuk sebagian besar pembelajar bahasa Inggris. Mereka masih belum mampu berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Inggris meskipun mereka mungkin bisa membaca novel-novel yang ditulis dalam bahasa Inggris setelah bertahun-tahun belajar bahasa Inggris di sekolah.
Apa yang menyebabkan ketidakmampuan ini? Faktor apa yang mungkin sangat mempengaruhi kita, orang Indonesia, khususnya Padang, Sumatra Barat, dalam konteks belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing (TEFL)? Pertanyaan seperti ini yang telah menarik minat saya dan mendorong saya untuk memilih topik ini dan kemudian melakukan riset-riset untuk mencari jawabannya.
Untuk mendiskusikan lebih jauh isu-isu ini, pada kesempatan yang terhormat ini, perkenankanlah saya menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teaching of English as a Foreign Language. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati saya akan menyampaikan pidato dengan judul:
“Language Input and Code-Switching in the Teaching of English as a Foreign Language: A Stimulated Recall and Conversation Analysis”
Ini bermula dari ketertarikan saya melihat dan memperhatikan beberapa orang Bali yang saya temui di Melbourne, Australia kira-kira 25 tahun yang lalu, sewaktu saya menyelesaikan kuliah Master of degree di LaTrobe University.
Pada saat itu, pembimbing saya sedang melakukan penelitian tentang bahasa isyarat. Tim peneliti mendatangkan beberapa orang Bali yang berasal dari sebuah desa di Buleleng, Bali bernama Desa Bengkala. Desa ini memiliki keunikan lewat komunitas KOLOK (bisu dan tuli) dimana warganya tuna rungu dan tuna wicara. Masyarakat kolok berkomunikasi menggunakan Bahasa Isyarat satu sama lain. Uniknya, bahasa isyarat mereka berbeda dari bahasa isyarat di komunitas lain, dan ini yang membawa tim peneliti Australia untuk mempelajarinya.
Komunitas KOLOK di Bali
Desa Bengkala berada di Kabupaten Buleleng, Bali dan berjarak 15,6 kilometer dari pusat Kota Singaraja dan 100 kilometer dari Kota Denpasar. Desa KOLOK di Bali tersebut sebagian besar warganya bisu dan tuli (Kusuma, 2023). Sebagai mana kita ketahui, secara umum salah satu penyebab bisu adalah tuli. Tetapi apakah semua orang bisu di Desa KOLOK tersebut tuli? Hasil penelitian terhadap warga desa ternyata tidak semua warga yang bisu tersebut, tuli atau tidak mendengar. Kalau begitu kenapa mereka bisu dan hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat? Penelusuran lebih lanjut, menunjukkan bahwa Desa Kolok sebelumnya adalah desa yang dikucilkan. Warga desa tidak berbaur dengan masyarakat sekitarnya akibat mitos kutukan masa lalu.
Legenda dimulai dari sepasang suami istri yang bisu dan tuli yang di buang secara adat. Suami istri ini kemudian mempunyai anak-anak yang kemudian membentuk kelompok yang dari waktu ke waktu bertambah jumlah anggotanya akan tetapi mereka hanya hidup dan berkomnikasi dengan orang-orang dalam lingkungan mereka saja. Tidak ada komunikasi verbal di desa tersebut, mereka menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Dan inilah sejarahnya kenapa desa tersebut diberi nama Desa Kolok, yang dalam bahasa Balinya desa SUNYI.
Desa Bengkala sering menjadi lokasi penelitian termasuk mengungkap keberadaan warga kolok di desa tersebut. Secara ilmiah, terdapat adanya gen resesif DFNB3 yang membuat 1 dari 50 bayi mengalami kondisi bisu dan tuli (Dhania, 2021). Namun warga setempat masih percaya bahwa kondisi warga kolok diakibatkan adanya kutukan masa lalu yang belum hilang. Kutukan tersebut akan hilang jika warga kolok sudah tidak berada di desa tersebut.
B. Pembahasan
Language Input, Language Output dan Interaction dalam Pembelajaran Bahasa
Apa yang mungkin terjadi pada komunitas KOLOK dilihat dari perspektif pembelajaran bahasa adalah ketiadaan ‘language input’ verbal yang tersedia bagi warga desa yang memungkinkan warga berkomunikasi secara verbal. Sepasang suami istri yang bisu dan tuli tadi mewariskan alat komunikasi berupa bahasa isyarat bukan bahasa verbal karena ketidak mampuan mereka untuk berkomunikasi secara verbal. Keturunan mereka tidak mendengarkan bahasa verbal di lingkungan mereka sebagai ‘language input” tapi bahasa isyarat sebagai ‘language input’, karena mereka dikucilkan. Yang ada adalah ‘language input’ dalam bentuk bahasa isyarat dan bukan ‘language input’ dalam bentuk bahasa verbal. Konteks inilah yang memungkinkan desa KOLOK menjadi desa sunyi, tanpa suara, yang dipakai untuk berkomunikasi secara verbal.
Kesamaan dalam proses penguasaan bahasa pertama/bahasa kedua dengan pemerolehan bahasa asing sebagai bahasa target (TL) belum diketahui secara pasti. Namun, banyak ahli-ahli bahasa dan pembelajar bahasa mengandalkan cara yang sama seperti untuk penguasaan bahasa pertama (L1)/ bahasa kedua (SL); input lisan sebagai sumber utama bahasa target (TL) (Al-Zoubi, 2018; Krashen 1982; Morata & Coule, 2012).
Dalam konteks pembelajaran bahasa Ingris sebagai bahasa asing (Teaching of English as a Foreign Language), “teacher talk”, bahasa yang dipakai guru di dalam kelas berfungsi sebagai ‘language input’. ‘Language Input’ penting untuk proses pemerolehan bahasa (Wirza & Sholihah (2020) dan menggunakan bahasa target atau bahasa yang dipelajari tersebut secara aktif oleh siswa (‘language output’) juga menjadi bagian integral dari proses pemerolehan bahasa (Swain, 2005). Ada perdebatan menarik di ranah Second Language Acquisition tentang peran ‘language input’ ini. Terlepas dari perdebatan tersebut, riset-riset tentang pembelajaran bahasa asing (TEFL) dan bahasa kedua (TESL) saat ini menyepakati bahwa bahasa yang digunakan guru sebagai sumber ‘language input’ (Ellis, 1985; Erk & Takač, 2021; Long, 1980; Littlewood & Yu, 2011).
Namun, Ellis (1994), Long (1980, 2020), Swain (2005) berpendapat bahwa meskipun ‘language input’ sangat penting untuk pemerolehan bahasa, ‘language input’ saja tidak cukup; diperlukan ‘interaction’ agar pemerolehan bahasa berhasil (‘languge output’). Interaksi penting karena pembelajar dapat meningkatkan bahasa mereka melalui interaksi saat mereka mendengarkan guru mereka, dan kemudian mereka dapat menggunakan semua yang telah mereka pelajari untuk berkomunikasi.
Swain (2005) menyatakan bahwa pembelajar perlu diberi kesempatan untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Sewaktu pembelajar berlatih berbicara si pembelajar dituntut untuk memperhatikan aspek-aspek linguistik dan budaya yang nantinya membantu mereka untuk berkomunikasi secara efektif dalam bahasa target yang mereka pelajari. Memaksimalkan ‘language input’ dan ‘language output’ yang dapat dipahami serta interaksi adalah hal yang penting dalam pembelajaran bahasa. Kegiatan semacam ini dapat mendorong perkembangan bahasa mereka untuk menghasilkan ‘language output’ yang dapat dipahami (Swain, 2005).
Dalam pidato pengukuhan ini saya akan fokus pada ‘language input’ dan ini tidak berarti saya mengenyampingkan pentingnya ‘language output’dan ‘interaction’.
Input-Output Interplay in EFL classrooms
Tidak diragukan lagi bahwa penggunaan bahasa target dalam hal ini bahasa Inggris di dalam kelas bahasa Inggris merupakan hal yang penting dalam konteks dimana pembelajar memiliki kesempatan yang tidak banyak untuk mendengar dan menggunakan bahasa target di dalam dan di luar kelas (Musumeci, 1996; Taşçı & Ataç, 2020).
Memaksimalkan penggunaan bahasa target (‘language input’) adalah penting untuk penguasaan. Konsekuensinya, guru harus memperhatikan dan memaksimalkan penggunaan bahasa yang mereka gunakan di kelas, karena bahasa yang mereka gunakan berfungsi sebagai ‘language input’ dan dapat berfungsi untuk memunculkan ‘language output’ siswa.
Krashen, dengan teori Input Hypothesisnya (1985), menyebutkan bahwa pembelajar akan menguasai bahasa target jika ada cukup ‘language input’ yang dapat dipahami si pembelajar (Comprehensible input). Comprehensible input adalah bahasa target yang tingkat kesulitannya sedikit di atas kemampuan siswa (Krashen, 1982).
Lebih lanjut Krashen mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara tidak akan berkembang melalui pengajaran langsung; sebaliknya, pemaparan ‘language input’ yang cukup membantu mengembangkan keterampilan berbicara (Krashen, 1985; Lichtman, K., & Vanpatten, 2021a). Krashen (2003) mendefinisikan ‘input’ yang dapat dipahami sebagai bahasa yang ditujukan kepada pembelajar yang mengandung beberapa elemen baru di dalamnya, tetapi hal ini tetap dapat dipahami oleh pembelajar karena adanya ‘background knowledge’ siswa tentang linguistik, paralinguistik, atau situasi bahasa yang sedang di pelajarinya.
Sejalan dengan Krashen (1982, 1985), Wong-Fillmore (1982) mendukung gagasan bahwa siswa belajar berbicara dengan mendengarkan, seperti seorang anak belajar bahasa ibunya dengan mendengarkan pembicaraan di lingkungannya. Seorang anak memperoleh bahasa ibunya (L1) melalui paparan dan interaksi dengan ‘language input’ yang diberikan oleh lingkungannya.
Menurut Krashen (1982), adalah mungkin bagi pembelajar bahasa untuk memperoleh bahasa tanpa berlatih berbicara, yang penting adalah input (‘language input’). Namun, Krashen (1982) dikritik karena teorinya ini belum terbukti kebenarannya dalam pembelajaran bahasa asing. Akan tetapi, setelah 40 tahun berlalu, teori-teori yang diungkapkan oleh Krashen (1982, 1983, 1994) terbukti kebenarannya (Lichtman & Vanpatten, 2021a, 2021b) dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Riset–riset terbaru memperlihatkan bahwa ‘teacher talk’ sebagai ‘language input’ mempengaruhi kompetensi bahasa pembelajar (Caukill, 2015; Erk & Takač, 2021; Inbar-Lourie, 2010; Krashen, 1982, 2003; Long, 1980; Wirza & Sholihah, 2020; Zainil, 2013, 2017; Zainil & Arsyad, 2021). Di dalam kelas bahasa, peran utama guru adalah memberikan ‘language input’ yang cukup kepada siswa dengan mendengarkan bahasa target dalam jumlah yang cukup, terutama melalui Teacher Talk (Ellis, 1994; Littlewood & Yu, 2011; Musumeci, 1996).
Banyak pakar pembelajaran bahasa setuju dengan gagasan ini bahwa guru harus memberikan input bahasa target sebanyak mungkin kepada siswa agar siswa yang mempelaari bahasa dapat menggunakan bahasa yang mereka pelajari tersebut (lihat Ahmadi & Panahadeh, 2016; Ellis, 1994; Krashen, 1982; Littlewood & Yu, 2011; Yeung, 2020).
Littlewood (2007), memastikan bahwa di dalam kelas bahasa sebagai bahasa asing perlu penggunaan – language for ‘real life’ classroom communication in the form of modified and simplified language input (Krashen, 1985; Long, 2020; Meng & Wang, 2011). Siswa akan termotivasi untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya jika guru mereka menggunakan bahasa yang mereka pelajari tersebut (Satchwell, 1999).
What really matters is to show the students, English is a language for genuine communication and functions as this in the classroom as well (Sifakis & Sougari, 2005)
Dalam kontek Teaching of English as a Foreign Language seperti Indonesia, Sumatra Barat khususnya, kelas bahasa Inggris kita di kategorikan sebagai kelas besar (large classes), dengan jumlah waktu yang sedikit bagi siswa untk mendengarkan bahasa target, yaitu bahasa Inggris (Zainil, 2017). Oleh sebab itu guru harus menggunakan bahasa Inggris untuk motivasi dan tantangan untuk belajar (Long, M. (2020); MacDonald, 1993 cited in Turnbull, 2001: 252). Dengan cara ini, siswa akan dapat melihat langsung penggunaan bahasa yang mereka pelajari tidak hanya mendengar penjelasan guru tentang tentang manfaat berlatih bahasa Inggris (Turnbull & Arnett, 2002). Memaksimalkan penggunaan bahasa target di dalam kelas akan sangat membantu siswa dalam menguasai bahasa asing yang dipelajarinya.
English language teaching in Indonesia
Kompetensi komunikatif merupakan salah satu tujuan utama dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia karena kebutuhan penggunaan bahasa Inggris di banyak bidang kehidupan profesional dan personal di Indonesia. Selain itu, Indonesia dikelilingi oleh beragam budaya dan bahasa di Asia dan Australia. Untuk alasan ini, bahasa Inggris digunakan sebagai alat komunikasi melintasi batas budaya dan bahasa, seperti dalam perdagangan komersial, belajar, urusan luar negeri, dll.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, Sumatra Barat khususnya, siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas hanya belajar bahasa Inggris di kelas bahasa Inggris satu atau dua pertemuan dalam satu minggu (Depdiknas, 2013). Guru dan siswa sama-sama mampu menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Aktifitas riset yang saya lakukan dalam rentang waktu 2013- 2019 menemukan bahwa guru-guru bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah cendrung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Minang (61,32%) dibanding penggunaan bahasa Inggris (38,68%) dalam interaksi kelas bahasa Inggris (Zainil, 2013, 2017, 2019, Zainil & Arsyad 2021). Ini menunjukkan bahwa guru yang diobservasi menggunakan lebih banyak bahasa Minang dan bahasa Indonesia dalam berinteraksi dengan siswa mereka di dalam kelas. Temuan ini sejalan dengan temuan riset yang dilakukan oleh Duff & Polio (1994). (Zacharias, 2011), salah satunya adalah L1/L2 digunakan untuk menjelaskan aturan tata bahasa Inggris kepada siswa.
Berikut salah satu contoh ekstrak ‘classroom’s discourse’ dari kelas yang di amati.
Extract . Teacher’s C extract of classroom discourse
SPEAKER |
UTTERANCE (S) |
T |
Kemaren skillnya berbicara menggunakan “who” [Yesterday] [speaking] [using] |
S |
“Who” |
T |
Ya, “who” sekarang kita berbicara tentang[Yes] [now] [we] [talk] [about]skill menulis, jadi nanti, disamping anak mam[writing] [so] [later] [beside] [child]bisa mengungkapkannya dalam berbicara,[able] [to say] [it] [in] [speaking]anak mam juga bisa menggunakannya dalam menulis.[Child] [also] [able] [to use] [it] [in] [writing]((the teacher writes “asking and giving information” on the whiteboard))ok, jadi kita semua sudah belajar,[so] [we] [all] [already] [learned]“asking and giving information.” |
T |
menggunakan, apa nak?by using apa kita gunakan kemaren?[to use] [what] [child] [what] [we] [use] [yesterday?] menggunakan apa anak anak?[to use] [what] [kids?]((the teacher writes “asking and giving information” on the whiteboard)) |
S |
where, when, who, what, |
T |
where, when, who, what,((the teacher repeats the student while writing on the board))ya, sekarang kita liat lagi kalau what[yes], [now] [we] [see] [again] [if]kita gunakan untuk apa?[we] [use] [for] [what?] |
S |
What, apa[what] |
T |
ya, menanyakan tentang apa?[yes], [ask] [about] [what?]ya, something, what is used untuk[yes,] [for]menanyakan tentang apa,[ask] [about] [what],kemudian, when, yang ini ask about something[then] [this][one]((the teacher writes “ask about something on the whiteboard)),kemudian when, when kita gunakan untuk apa?[then] [we] [use] [for] [what?] |