Oleh : Wahyuni Eloisa Marinda, ME Dosen Departemen Ekonomi Fakultas                     Ekonomi  dan Bisnis  Universitas Andalas

PadangTIME.com | Kota Padang terletak di Pantai Barat Pulau Sumatera dan berada antara 0º44’00” dan 1º08’35” Lintang Selatan serta antara 100º05’05” dan 100º34’09” Bujur Timur. Wilayah Barat Indonesia secara tektonik merupakan wilayah yang sangat dinamis.

Hal ini disebabkan oleh proses subduksi/interaksi 2 lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia dengan Eurasia. Dengan adanya proses tersebut, kota Padang menjadi rawan terhadap peristiwa gempa bumi.

Akibat kejadian gempa tanggal 30 September 2009 penggunaan lahan di Kota Padang terjadi pergeseran yakni dari lahan pertanian ke perkantoran dan perumahan masyarakat.

Perubahan terjadi karena perpindahan penduduk dari zona merah (tepi pantai) ke zona hijau (daerah bypass). Masyarakat kota Padang mulai memahami kerawanan untuk bermukim di pesisir pantai yang dikategorikan pemerintah sebagai zona merah ancaman tsunami (BPBD Kota Padang).

Namun tidak demikian halnya dengan kegiatan ekonomi di daerah pantai Padang yang saat ini sudah sangat ramai dengan pedagang- pedagang terutama yang berjualan makanan dan tempat hiburan masyarakat.

Kebanyakan dari pedagang-pedagang itu adalah perempuan, dan pada umumnya suami mereka adalah nelayan. Mereka berjualan dengan menggunakan gerobak, meja atau menggunakan tenda yang menjual berbagai macam makanan. Kegiatan ini dilakukan untuk berbagai macam alasan, mendapatkan penghasilan sebagai pekerjaan utama,  mengisi waktu luang dan kemungkinan peluang mendapatkan penghasilan tambahan karena pekerjaan utama terganggu akibat kondisi tertentu diluar perkiraan.

Banyak studi menemukan bahwa baik perempuan maupun laki-laki bekerja dalam perekonomian informal  untuk memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan mata pencaharian di daerah pinggiran kota melalui inisiatif ekonomi, dan memajukan pemberdayaan saat mereka menanggapi bencana yang timbul dari perubahan iklim (Ofreneo dan Hega, 2016).

Bencana alam adalah peristiwa besar yang merugikan yang dihasilkan dari proses alam atau bumi. Contohnya termasuk banjir, badai, letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, dan proses geologi lainnya.

Bencana alam dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau kerusakan harta benda, dan biasanya meninggalkan beberapa kerusakan ekonomi di belakangnya, yang tingkat keparahannya tergantung pada ketahanan populasi yang terkena dampak, atau kemampuan untuk pulih (Daramola et al, 2016).

Masyarakat pesisir baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan sebagian besar bergantung pada sumber daya alam dan oleh karena itu mata pencaharian utama mereka sangat rentan terhadap bencana alam.

Upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif akibat terganggunya mata pencaharian utama,  seringkali dilakukan dengan berbagai upaya yang proaktif dan reaktif dan  membuat pilihan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya material dan sosial dalam kegiatan untuk mengubahnya menjadi hasil yang penting bagi kesejahteraannya (Koomson et al, 2020).

Khan et al (2022) sependapat bahwa bencana terkait iklim memiliki dampak yang parah pada mata pencaharian masyarakat di pesisir dan kapasitas adaptif terkait dengan hal ini, karena itu menurutnya  penting  mengidentifikasi faktor-faktor yang terdiri dari indikator kapasitas adaptif yang mempengaruhi kerentanan mata pencaharian terhadap bencana yang disebabkan oleh iklim tersebut.

Pada saat yang sama setiap masyarakat memiliki strategi bertahan hidup tertentu mengikuti dinamika resiko bahaya dan tren transformasi baik elemen lingkungan biotik dan abiotik. Masyarakat biasanya mendekati pergeseran ini pada tahun- tahun sesudahnya dengan meningkatkan dimensi ekonomi dan sosialnya.

Dampak langsung dan tidak langsung perubahan iklim terhadap ekosistem laut dan wilayah pesisir terutama sekali berdampak pada nelayan skala kecil, dan paling banyakterutama di negara berkembang, yang menghadirkan kemiskinan ekstrem dan ketergantungan tinggi pada ekosistem laut sebagai sumber makanan dan penghidupan bagi rumah tangga.

Selvaraj et al (2022) percaya bahwa memahami kerentanan rumah tangga nelayan dan mempertimbangkan kompleksitas sosial-ekonomi-politik terkait sangat penting untuk melestarikan mata pencaharian mereka dan menjaga kesejahteraan mereka.

Karena itu perlu meningkatkan kapasitas adaptif nelayan untuk mengurangi kerentanan yang dialami nelayan akibat dampak perubahan iklim tersebut. Dikutip dari Selvaraj et al (2022) kapasitas adaptif itu terdiri dari serangkaian strategi yang mendefinisikan kemampuan sistem untuk menghadapi, mempersiapkan, menyesuaikan diri dengan gangguan, dan memanfaatkan peluang. Konsep ini telah dikembangkan dan digunakan terutama untuk mengukur kemungkinan adaptasi masyarakat terhadap efek yang disebabkan oleh perubahan iklim dan bencana alam.

Menurut Daramola et al (2016), bukti dari literatur serta pengalaman global menunjukkan bahwa faktor-faktor yang meningkatkan kapasitas adaptif terhadap bencana adalah strategi pengurangan risiko ex-ante (sebelum terjadinya bencana).

Hal penting yang dapat ditarik dari pengalaman akar rumput (grass root) dalam hal mengatasi bencana dan melakukan strategi adaptif, yaitu bagaimana mereka mengatasi cuaca ekstrim untuk mengurangi kerentanan  terhadap perubahan iklim ini yang berdampak kepada ketahanan ekonomi rumah tangga mereka.

Mereka menggunakan sarana fisik, ekonomi dan sosial untuk mengurangi risiko, mengurangi kerugian dan memfasilitasi pemulihan dari banjir dan suhu tinggi, dan menunjukkan bagaimana adaptasi akar rumput yang berbeda menurut tingkat risiko dari bencana banjir (Jabeen et al, 2010).

Dari beberapa studi literatur diatas telah mengispirasi peneliti tertarik untuk menguji apakah karakteristik dari pedagang, karakteristik dari jenis usaha dan kelembagaan pengelolaan bencana daerah telah cukup memiliki  adapttive capacity bagi pedagang yang berjualan di Taplau sehingga tempat berjualan di Taplau menjadi pilihan untuk bergiatan ekonomi?

Dengan menggunakan Regresi Logistik, hasil estimasi masing- masing variabel independen dari 8 variabel  yang valid hanya 3 yang  signifikan yang mempengaruhi ketahanan bencana pedagang di tepi pantai Padang adalah sebagai berikut, pertama tempat berjualan.

Pada variabel tempat berjualan, nilai signifikansi adalah sama dengan 0.05, dengan kata lain nilai signifikansinya sama dengan batas signifikan sebesar 0.05, menunjukkan bahwa variabel tempat berjualan berpengaruh signifikan terhadap ketahanan bencana dari pedagang yang berjualan di pinggir pantai.

Slope untuk variabel tempat usaha mempunyai parameter -1.311 yang berarti bahwa responden yang bertempat jualan dengan menggunakan bangunan permanen tidak memiliki peluang ketahanan terhadap bencana jika dibandingkan dengan yang memakai tenda.

Nilai Odds ratio untuk variabel tempat usaha adalah sebesar 0.269 yang berarti bahwa responden yang bertempat usaha dengan menggunakan bangunan permanen atau semi permanen memiliki peluang 0.269 kali memiliki ketahanan  terhadap bencana jika dibandingkan dengan pedagang yang berjualan dengan menggunakan tenda.

Ini karena diperkirakan pedagang yang menggunakan tempat berjualan yang memiliki bangunan tetap  barang dagangannya bisa diselamatkan lebih cepat dan baik sehingga lebih aman.

Jika memakai tenda barang dagangannya bisa hilang dan mudah rusak. Tenda juga menunjukkan kemampuan finansial responden yang lebih rentan terhadap bencana dan  kemungkinan barang hilang sangat besar sehingga dapat dikatakan yang berdagang dengan tempat berjualan dengan tenda adalah memiliki kerentanan yang besar atau ketahanan terhadap bencana yang rendah.

Kedua variabel membawa anak berpengaruh signifikan terhadap ketahanan bencana pedagang yang berjualan dipinggir pantai dengan angka signifikansi sebesar 0.030 yang lebih kecil dari 0.05.  Kemiringan kurva atau slope yang bernilai 1.241 menunjukkan bahwa responden yang berdagang membawa anak ke tempat berjualan memiliki peluang untuk mengalami kerentanan terhadap bencana alam seperti gempa dan tsunami.

Hal diperkirakan bahwa dengan keberadaan anak beban responden lebih berat karena bertambah tanggung jawab untuk segera menyelematkan diri.

Nilai  odds ratio dari variabel membawa anak sebesar 3.460, artinya adalah pedagang di pinggir pantai Padang yang  membawa anak sambil berdagang  berpotensi memiliki kerentanan atau berkurangnya ketahanan mereka terhadap bencana sebesar 3.460 kali jika dibandingkan dengan pedagang yang tidak membawa anak selama berdagang.

Ketiga, adalah harapan terhadap pemerintah, dimana variabel harapan kepada pemerintah berpengaruh signifikan terhadap ketahanan bencana dari pedagang yang berjualan di pinggir pantai dengan angka signifikansi sebesar 0.030, yang lebih kecil dari 0.05. Slope untuk variabel ini adalah -1.516 yang berarti respoden yang tidak memiliki  harapan bantuan pemerintah yang diberikan secara tepat dan adil akan menambah kerentanan atau mengurangi ketahanan terhadap bencana alam yang mungkin terjadi.

Nilai odds ratio nya adalah sebesar 0.220 yang berarti pedagang yang berjualan dipinggir pantai yang memiliki harapan akan tepat dan adilnya bantuan pemerintah disalurkan kepada masyarakat yang terkena bencana, memiliki ketahanan terhadap bencana 0.220 kali jika dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki harapan tersebut.
(PT)

PI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini